Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kelapa Sawit, Tanaman Hias yang Problematik

25 Mei 2022   17:09 Diperbarui: 25 Mei 2022   17:22 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi ditanamnya 4 bibit kelapa sawit di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848 (dok. pribadi)

Dimulai dari empat benih kelapa sawit dari Afrika Barat yang dibawa oleh salah seorang ilmuwan ke Hindia Belanda pada abad ke 19. Benih tersebut dijadikan sebagai koleksi Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Biji kelapa sawit dari kebun raya Bogor kemudian disebarkan ke berbagai daerah seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi untuk menjadi tanaman hias sekaligus percobaan. 

Singkat cerita, melalui percobaan budidaya kelapa sawit ditemukanlah cara pengolahan buah yang memberikan manfaat begitu besar. Akhirnya pada tahun 1911 dibukalah usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Deli dan Aceh oleh perusahaan dari Belgia. Sejak saat itu dimulailah industri kelapa sawit yang kini mendominasi pasar minyak nabati dunia.

Secara umum terdapat dua produk turunan pertama dari kelapa sawit, yakni CPO (Crude Palm Oil)/minyak sawit kasar dan PKO (Palm Kernel Oil)/minyak inti sawit. CPO dihasilkan dari daging buah sawit, sedangkan PKO dihasilkan dari inti buahnya. Keduanya merupakan bahan baku atau campuran dari berbagai macam produk kebutuhan sehari-hari. 

Selain minyak goreng, produk turunan dari kelapa sawit adalah sabun, kosmetik, hingga bahan campuran untuk biodiesel. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini ketergantungan manusia terhadap kelapa sawit cukup besar.

Kelapa sawit kini sudah menjadi isu global yang menyangkut perdagangan antar negara hingga perubahan iklim dunia. Banyak yang butuh sawit namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Adu kepentingan antara negara-negara konsumen yang notabene negara maju dengan negara-negara produsen yang merupakan negara berkembang masih terus berlangsung. 

Karena tekanan publik, negara konsumen menuntut negara produsen untuk memproduksi minyak sawit dengan standar tertentu di tengah keterbatasan mereka sebagai negara berkembang.

Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM merupakan isu yang menjadi dasar utama kritikan dan penolakan terhadap industri kelapa sawit. Adanya perkebunan termasuk kebun kelapa sawit memang mengancam eksistensi lingkungan dan masyarakat lokal yang ada di sekitarnya. 

Sudah hukum alam, makhluk yang kuat memangsa yang lemah. Dalam kasus ini pemilik modal lah yang menjadi kasta tertinggi dan berperan sebagai pemangsa. Banyak kejadian para pengusaha besar mencaplok lahan dan menyingkirkan masyarakat lokal dengan berbagai cara baik itu secara legal yang manipulatif maupun ilegal dengan menyalahgunakan kekuasaan.

Terbentuknya RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) merupakan jawaban atas tuntutan dari negara-negara konsumen, termasuk juga LSM penentang industri sawit. Dalam sertifikasi seperti RSPO dan ISPO terdapat prinsip dan kriteria yang beberapa diantaranya menekankan pada praktik-praktik pengelolaan lingkungan dan sosial yang baik. 

Meskipun tidak wajib, banyak perusahaan yang berusaha mendapatkan sertifikasi RSPO untuk mendapatkan harga jual premium dan meningkatkan kredibilitas perusahaan. Sementara untuk ISPO, menjadi kewajiban bagi semua pengusaha perkebunan sawit di Indonesia sebagai syarat untuk mengekspor produknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun