Mohon tunggu...
Dodi Hertanto
Dodi Hertanto Mohon Tunggu... -

Pengamat kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perjalanan Penyakit dan Aspek Sosiokulturalnya

13 Februari 2010   17:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:56 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beragam respon masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya atau keluarganya. Ada masyarakat yang sangat lamban dalam menghadapi penyakit. Namun tidak jarang banyak juga yang responsif atas penyakit. Hal tersebut sangat tergantung dengan pemahaman atas penyakit. Tidak sedikit masyarakat yang sudah mengerti bahwa ada penyakit yang gawat sekali, ada juga penyakit yang darurat namun tidak gawat dan penyakit yang tidak gawat dan tidak juga darurat. Semua itu memberikan respon yang berbeda-beda dari masyarakat.

Banyak pula masyarakat yang sudah mengerti bahwa penyakit itu terdiri dari bermacam-macam tipe seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, tumor, gagal ginjal, stroke, malaria, demam berdarah, demam tifoid, keracunan, dan lupus.

Namun tidak sedikit masyarakat yang tidak memahami dari perjalanan suatu penyakit. Darimana mulainya suatu penyakit sampai dimana letak berakhirnya penyakit tersebut. Apakah penyakitnya masih dalam perjalanankah ? Ataukah sudah di persimpang jalan ? Ataukah perjalanan penyakitnya sudah sampai ditempat tujuan. Sehingga banyak juga masyarakat bertanya-tanya bagaimana mengenali awal dari suatu perjalanan penyakit, ditengah ataukah akhir penyakit tersebut ? Semua masih menganggap misteri.

Pemahaman atas perjalanan penyakit pun ternyata berbeda-beda di setiap tingkatan masyarakat yang pada akhirnya menentukan respon mereka apakah cepat ataukah lamban.

Ada pula yang mengaitkan perjalanan penyakit tersebut dengan kepercayaan dari masyarakat setempat.

Bila kita membagi masyarakat dengan pendidikan, maka mereka yang pendidikannya tinggi tentu sudah banyak informasi yang didapatinya akan suatu perjalanan penyakit. Mereka ini mempunyai respon yang berbeda pula.

Demikian juga masyarakat dengan pendidikan yang rendah pun memilikki berbagai macam cara pandang terhadap perjalanan penyakit.

Apapun yang terjadi pada masyarakat bahwa mereka mempunyai harapan yang besar terhadap pelayanan kesehatan. Semua masyakarat dari berbagai tingkatan hanya ingin agar mereka dapat dilayani dengan pelayanan kesehatan yang maksimal.

Tapi kita lupa satu hal sebagai masyarakat ataukah pelayan kesehatan, bagaimana sikap masyarakat terhadap perjalanan penyakit ?

Ada masyarakat yang membawa keluarganya ke tempat pelayanan kesehatan sudah dalam kondisi sakratul maut lalu meninggal ketika pelayan kesehatan memberikan pertolongan. Masyarakat pun menyalahkan para pelayan kesehatan kenapa tidak dilayani dengan maksimal ? Padahal kalau kita pikir dengan akal yang sehat apa masyarakat tersebut tidak tahu tanda-tanda perjalanan penyakit yang bisa merenggut nyawa ? Bagi pelayan kesehatan pun tidak mau di salahkan bahwa masyarakatlah yang telat membawanya ke rumah sakit.

Ada juga masyarakat yang membawa keluarganya ke tempat pelayanan kesehatan terlalu dini seperti baru saja demam 1 jam langsung ke rumah sakit atau ke tempat praktek dokter, dan harapan mereka agar dapat pelayanan kesehatan yang maksimal, sehingga tidak sedikit mereka menyalahkan dokter salah diagnosa padahal demam satu jam tanpa hasil pemeriksaan penunjang apa-apa tentu tidak bisa bagi seorang dokter dalam menegakkan diagnosa pasti kecuali si pasien mau untuk dilakukan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi lalu dalam waktu 2 hari begitu hasil keluar maka sudah dapat diketahui diagnosanya.

Namun kebanyakan juga masyakarat kita membawa keluarganya sudah dalam kondisi yang menahun dan gawat apakah di praktek dokter, Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit. Dan yang mengherankan pada masyarakat bahwa kondisi gawat malah di bawa ke praktek dokter seperti serangan asma, kejang-kejang, mimisan dan sesak nafas. Tidak jarang mereka menyalahkan dokter yang tidak memprioritaskan pasien tersebut, lalu pada akhirnya kekesalan masyarakat terhadap dokter diwujudkan seperti salah diagnosa.

Justru masyarakat yang berpendidikan lah yang sering memberikan vonis salah diagnosa pada dokter. Lalu apakah sang dokter memang betul-betul telah melakukan salah diagnosa sehingga menyebabkan keparahan penyakit atau bahkan kematian keluarganya ?

Timbul pertanyaan bahwa apakah masyarakat yang berpendidikan itu tidak tahu bagaimana perjalanan penyakit keluarganya tersebut ?Apakah itu ciri-ciri masyarakat yang berpendidikan tinggi dalam merespon suatu perjalanan penyakit ? Kalau sudah gawat baru pergi ke dokter. Mereka menuntut agar dokter harus bisa menyembuhkannya apapun caranya. Bila dokternya gagal maka dengan mudah mereka menyalahkan sang dokter dengan satu kata ’Malpraktek’.

Lalu dimana mereka yang katakanlah sangat berpendidikan saat keluarganya baru mulai demam, baru mulai sesak nafas, baru mulai mimisan atau baru saja kejang ? Apakah tidak sebaiknya dibawa ke dokter pada saat dimulainya suatu perjalanan penyakit itu agar dapat dicegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti keparahan atau kematian akibat telah berakhirnya perjalanan penyakit tersebut ?

Selanjutnya kemudian masyarakat kita bagi menjadi kaya dan miskin serta pengaruhnya dalam perjalanan penyakit.

Tentu saja masyarakat kaya sebagian besar begitu responsif terhadap perjalanan penyakit dan hanya sebagian kecil saja tidak begitu minat terhadap penyakit. Yang besar responnya sudah barang tentu mempunyai harapan yang besar pada pelayan kesehatan terutama dokter, sehingga dengan uang semua bisa dibeli bahkan kalau perlu dokter juga ’dibeli’. Tidak jarang mereka yang berduit menuntut dokter terlalu berlebihan. Hanya gejala flu saja kayaknya seperti menderita stroke sehingga mengatur dokternya harus begini dan begitu. Bahkan ada yang menjemput dokternya dari tempat praktek agar datang ke rumah hanya untuk mendiagnosa gejalaflu yang baru beberapa jam diderita.

Sehingga bilamana dokter tersebut menolak si kaya karena alasan melanggar peraturan kesehatan yang melarang dokter datang ke rumah maka sudah barang tentu si dokter itu keesokkan harinya di tuduh malpraktek alias tidak bertanggung jawab.

Apakah itu budaya masyarakat yang kaya dalam memandang suatu perjalanan penyakit ?

Praktek dokter sangat terkait dengan soal hukum dan sosiologis. Terkait dengan aspek hukum, praktek kedokteran saat ini diatur UU Kedokteran. Sehingga salah sedikit kena tuntutan hukum.
Terkait dengan aspek sosiologis, budaya masyarakat kita adalah budaya berobat (curative). Masyarakat belum terbiasa dengan budaya perawatan dan preventif. Kalau sakit mereka lalu mencari obat dan dokter. Kalau tidak dapat dokter, cari mantri/bidan. Ada anggapan di masyarakat, kalau tidak disuntik, bukan berobat namanya. Nah, praktek yang suntik menyuntik tadi yang cari oleh masyarakat, praktek yang demikian yang laku di dalam masyarakat. Bilamana ada dokter yang tidak mau menyuntik pasien dan hanya pegang-pegang saja lalu bayar jasanya mahal sekali, maka ketika dokter tadi salah saja bicara atau bahkan karena capek kesannya cuek sama pasien sudah pasti kena vonis sama masyarakat bahwa dokter itu 'malpraktek' padahal maksudnya tidak bertanggung jawab.

Praktek kedokteran sangat sedikit atau malah tidak memiliki waktu yang cukup untuk porsi preventif, promotif dan rehabilitatif apalagi di tempat praktek. Praktek kedokteran lebih menekankan pada porsi kuratif sehingga untuk saat ini praktek kedokteran juga dituntut agar memberikan pelayanan prima di masyarakat karena kebutuhan masyarakat dengan budaya kuratifnya yang lebih menonjol. Kalau budaya, pendidikan dan ekonomi masyarakat kita sudah maju dan mapan, maka aspek preventif dan promotif serta rehabilitatif akan menjadi lebih laku. Dengan demikian diharapkan agar masyarakat lebih cerdas dalam memandang suatu perjalanan penyakit.

Sehingga bila budaya masyarakat sudah menjadi budaya preventif, promotif dan rehabilitatif maka tidak ada lagi ada kasus dimana keluarga dan pasiennya sendiri sudah tahu serangan asma masih saja dibawa ke tempat praktek pribadi dokter mengingat keterbatasan fasilitas alat kesehatan di tempat praktek. Salah siapa ? Ya pasti dokternya yang disalahkan kenapa buka praktek tidak bisa mengatasi serangan asma.

Dan pada akhirnya masyarakat menjadi tahu tindakan apa yang tepat seandainya penyakit baru saja memulai perjalanannya, kemudian apakah tepat pada saat akhir perjalanan penyakitnya baru berteriak minta tolong sama dokternya ?

Lain pula dengan pola masyarakat yang modern dan maju seperti di Singapura, baru saja mengalami flu minta sama dokternya agar di rawat inap. Sehingga wajar saja dokter di Singapura melakukan pemeriksaan penunjang yang sangat lengkap agar mendapatkan diagnosa yang tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan mengingat pasiennya baru saja menderita flu 2 jam sudah minta dirawat. Lalu dengan cepat hasil rontgen, ultrasonografi, CT Scan dan bahkan MRI pun keluar tanpa pertimbangan apakah sudah sesuai dilakukan pemeriksaan tersebut dengan perjalanan penyakitnya. Konon harga pemeriksaan laboratoriumnya saja bisa senilai 25 juta rupiah. Sudah tentu semua point pemeriksaan diconteng agar bisa dilihat mana saja panel serologi infeksi yang menjadi positif yang nantinya dikaitkan dengan kondisi ’flu’ tersebut. Sehingga wajar saja dokter di Singapura menjadi idola masyarakat Indonesia karena di sana perjalanan penyakitnya dapat diketahui dengan segera oleh pasien dan keluarga.

Lalu apakah hal yang demikian diinginkan oleh masyarakat Indonesia suatu pelayanan kesehatan yang prima dan maksimal ?

Di Indonesia, kebanyakan masyarakat tidak tahu dengan perjalanan penyakit, kadang-kadang pasien sudah parah baru dibawa ke rumah sakit. Adalah wajar bila penyakit nya parah maka perjalanan penyakit itu dengan cepat diketahui oleh dokter di Indonesia mengingat tanda dan gejala nya khas sesuai dengan tipe penyakitnya, sehingga dokter di Indonesia jarang meminta pasien agar diperiksa darah yang sangat lengkap dan pemeriksaan radiologi yang juga komplet. Buat apa ? Toh penyakitnya sudah berakhir. Hanya saja karena alasan hukum dan sosiologis maka dibuatlah pemeriksaan penunjang yang bersifat rutin  Namun adakalanya juga, begitu kompleksnya komplikasi penyakit tersebut,maka tidak sedikit membuat dokter di Indonesia kalang kabut.

Pada akhirnya budaya masyarakat lah yang akan menentukan warna warni pelayanan kesehatan dan terutama pada pengaruhnya pada profesi dokter.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun