Akhir Juli 2021 pegiat kemanusiaan Alissa Wahid mengirim petisi kepada presiden Jokowi. Putri presiden Abdurrahman Wahid tersebut mendesak pemerintah segera melakukan manajemen krisis yang jelas, terstruktur dan sistematis. Dari empat usulan mendesak yang harus dilakukan pemerintah, membenahi persoalan komunikasi adalah satu di antaranya.Â
Sebelumnya headline Kompas (28/7/21) juga meminta pemerintah menjaga kepercayaan publik yang meyakini pemerintah mampu mengatasi pandemi.Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan hanya 36,4% responden yang tak meyakini Joko Widodo dan kabinetnya mampu mengatasi pandemi.
Sorotan masyarakat terhadap praktik komunikasi publik pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa persoalan pagebluk ini tidaklah semata-mata masalah kesehatan dan ekonomi. Laura Kahn (2020) mendefisinikan pandemi sebagai krisis medis dan politis yang membutuhkan kemampuan pemahaman rumit saintifik, kesehatan masyarakat dan komunikasi kesehatan demi kesuksesan respon.Â
Jikalau komunikasi menjadi sorotan hal ini disebabkan aspek inilah yang tampil dihadapan publik baik melalui media arus utama maupun media sosial. Â Sorotan dilakukan karena era krisis adalah era ketidakpastian sehingga dorongan masyarakat mencari panduan informasi untuk mengurangi ketidakpastian sangat besar. Krisis adalah representasi peristiwa besar dengan hasil akhir berpotensi negatif (Fearn-Banks,2011). Masyarakat berharap pemerintah lincah menyaingi kecepatan penyebaran virus melalui manajemen krisis dan komunikasi krisis sehingga keluar dari labirin ketidakpastian..Kenyataan berkata lain. Ketidakpastian justru terus diproduksi.
Selama 17 bulan penanganan pandemi kebijakan pemerintah terus silih berganti. Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), PSBB transisi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), PPKM mikro, PPKM darurat dan kini PPKM level 2, 3 dan 4. Berganti-gantinya kebijakan tersebut mengirim pesan kepada masyarakat bahwa pemerintah sesungguhnya  tidak  memiliki grand design jangka panjang penanganan pandemi. Terjadilah ketidakpastian kebijakan.
Ketidakpastian juga terjadi pada informasi data pandemi. Terjadinya selisih angka kematian antara pemerintah pusat dan daerah memungkinkan terjadinya kekeliruan persepsi resiko bahaya virus corona oleh masyarakat. KawalCovid-19 menyebutkan laporan kematian Covid-19 pemerintah pusat lebih sedikit daripada laporan kematian pemerintah daerah.Â
Selisihnya hingga 19.000 kasus (bbc.com). Persoalan ini tidak dapat dilihat sebagai kekeliruan administrasi semata. Bagaimanapun laporan pemerintah pusat dan daerah tersebut sebagai produk statistik, meminjam istilah  William Alonso (1987), adalah produk kepentingan sosial politik ekonomi yang tidak jarang menimbulkan konflik di antara mereka sendiri.Â
Selisih laporan kematian tersebut mengindikasikan betapa birokrasi mengutamakan kepentingan muka alias pencitraan alih-alih kemanusiaan. Jika benar ada selisih 19.000 orang yang wafat maka secara simbolik sesungguhnya mereka terbunuh dua kali, oleh Covid-19 dan oleh birokrasi.
Ketidakpastian juga terjadi pada aktor-aktor politik yang memproduksi narasi misinformasi bahkan disinformasi. Anjuran agar tidak menyebarkan informasi berkaitan pandemi yang muncul di berbagai wilayah nusantara  dengan alasan agar masyarakat tetap tenang adalah indikasi virus stabilitas nasional masih tetap hidup dan terus bermutasi.Â
Di sisi lain sains sebagai suatu yang eksak dicoba untuk dinegosiasikan dan dibawa ke panggung politik atas nama produk anak bangsa. Kesemuanya terjadi di tengah wabah hoax Covid-19. Alih-alih mengendalikan situasi melalui komunikasi krisis semua ketidakpastian tersebut melahirkan krisis. Komunikasi krisis memproduksi krisis.