Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Sekadar Narasi

19 Juni 2020   07:18 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infection in the sentence breeds... (Emily Dickinson)

Jelang akhir sambutan buku Jalan Sunyi Emha (2006) Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama berkata "Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat ora dadi presiden ora patheken, saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser".

Kalimat ora dadi presiden ora patheken yang diceletukkan Emha ketika itu bukanlah sekedar narasi di tengah gemuruh reformasi.  Kalimat yang terjemahan bebasnya adalah tidak jadi presiden tidaklah  masalah tersebut menjadi jalan penafsiran bahwa jabatan presiden bagi seorang Soeharto bukanlah segalanya. Kalimat bahasa Jawa itu juga menjadi simbol bahwa jenderal besar yang berkuasa 32 tahun itu tidak akan mempertahankan kekuasaan apalagi memberondong peluru kepada mahasiswa yang ketika itu sedang menyandera komplek DPR/MPR Senayan.

Beberapa hari belakangan ini kalimat Black Lives Matter viral di media massa menyusul terbunuhnya warga kulit hitam George Floyd.  Kalimat tersebut pertama kali dinyatakan Alicia Garza di laman facebooknya menanggapi bebasnya George Zimmer seorang terdakwa pembunuhan Trayvon Martin warga kulit hitam berusia 17 tahun. 

Ia menulis," I continue to be surprised at how little Black lives matter. And I will continue that. stop giving up on black life. Black people. I love you. I love us. Our lives matter". Bersama Opal Tometi dan Patrisse Cullors ia mendirikan organisasi dunia yang disebut sebagai black-centered political will. Organisasi itu ia beri nama Black Lives Matter.

Black Lives Matter dan ora dadi presiden ora patheken bukanlah sekedar narasi komunikasi. Keduanya melampaui definisi Walter Fisher yang mendefinisikan narasi sebagai tindakan simbolik kata-kata dan atau tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapa pun yang menafsirinya (Kompas, 30/5/2020). 

Kedua kalimat itu adalah bagian dari wacana (discourse).   Wacana, mengutip Foucault, adalah produksi pengetahuan melalui  bahasa.  Wacana adalah   sekelompok pernyataan yang menjadikan bahasa  berbicara tentang cara mewakili pengetahuan mengenai topik tertentu pada suatu momen bersejarah. 

Wacana bukanlah sekedar percakapan basa basi sosial (seperti yang populer dipahami ). Wacana adalah praktik sosial. Wacana adalah produksi pengetahuan melalui  bahasa dan produksi pengetahuan tak lepas dengan relasi kuasa (power relation). Di setiap wacana selalu ada agenda tersembunyi yang beroperasi tanpa sadar demi melanggengkan kekuasaan.

Dalam kaitan dengan relasi kuasa dan pengetahuan itulah kita dapat menganalisis secara kritis wacana yang diproduksi pemerintah dalam konteks pandemik virus korona. Di awal Maret ketika pertama kali warganya positif  virus korona Presiden muncul  menyampaikannya langsung kepada masyarakat.  

Narasi melawan Covid-19 pun menggema di mana-mana. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pun dibentuk. Pimpinannya militer aktif. Wisma atlet disulap menjadi Rumah Sakit Darurat. Wacana yang ingin digaungkan adalah pemerintah serius menghadapi virus korona dan melawan virus korona adalah perang  yang pasti dimenangkan. Sementara itu media massa memberitakan berbagai prediksi puncak dan berakhirnya pandemik di Indonesia. Kesemuanya itu adalah produksi pengetahuan melalui wacana.

Wacana yang digaungkan pemerintah tidak pernah diresepsi secara pasrah  oleh masyarakat. Selalu ada kelompok yang melakukan negosiasi dan resistensi wacana tersebut. Mereka yang resisten terhadap kebijakan pemerintah menggaungkan wacana tandingan seperti  narasi Lockdown ketika PSBB hendak diterapkan. Wacana tandingan ini seperti membenarkan pendapat Foucault yang menyatakan kekuasaan tidak pernah terpusat melainkan tersebar. Termasuk di antaranya kekuasaan memproduksi wacana tandingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun