Sekiranya kata pengabdian itu berwujud manusia mungkin sosok perempuan bernama Agusta Tamala pantas menyandangnya. Agusta Tamala adalah warga Desa Yamalatu, Kecamatan Telutih Kabupaten Maluku Tengah. Sejak 2005 perempuan lulusan SMA ini mengabdikan dirinya sebagai guru SD Inpres Yamalatu.Â
Seperti yang diberitakan Kompas 18/1/19 SD Inpres Yamalatu terbakar saat konflik Maluku merebak. Padahal ada 50 anak tidak bisa baca tulis yang terlantar. Bermodal iba dan kepedulian Agusta nekad menjadi guru mereka. Targetnya anak-anak bisa baca tulis dan berhitung.
Sejak 2005 itulah Agusta menjadi guru di SD Inpres Yamalatu hingga hari ini. Tanpa digaji. Ketika musim konflik masyarakat memberikan uang perbulan Rp 52 ribu. Ketika 2012 Bupati Maluku Tengah mengunjungi desa itu dan berjanji akan memberi Agusta Rp 200 ribu perbulan. Janji yang berhenti sebagai janji karena tidak pernah ada bukti.
Selama 14 tahun tak digaji mungkin suatu hal yang tak pernah perpikirkan banyak orang. Di zaman media sosial yang menyebarkan budaya pamer diri ,tampil tanpa digaji sangat mungkin cuma mendapat sindiran dan cemoohan.Â
Di masa seseorang bisa menghabiskan Rp25 juta untuk sekali makan malam bersama seperti diberitakan sebuah tayangan hiburan atau tidur dengan wanita cantik "cuma" Rp 80 juta kisah Agusta Tamala bak kisah seribu satu malam. Agusta pastinya tidak minta dikasihani tapi tidakkah kita tergerak meringankan derita yang tenggelam bersama senyum tulusnya ini?