Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menggugat Pemberitaan Korupsi

9 Desember 2017   22:21 Diperbarui: 9 Desember 2017   22:44 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: corruptionwatch.org.za

Dalam suasana peringatan hari anti korupsi dunia (International Anti-corruption Day) yang jatuh setiap 9 Desember peran pemberitaan media dalam  pemberantasan korupsi  patut dipertanyakan. Bank Dunia menyatakan bahwa masyarakat madani (civil society) dan media memiliki peran yang mustahak (crucial) menciptakan dan memelihara atmosfir kehidupan publik yang menghambat kecurangan dan korupsi (fraud and corruption). 

Bahkan keduanya dapat dikatakan sebagai faktor-faktor terpenting dalam memberantas korupsi tersistematis dalam lembaga pemerintahan (World Bank, 1997). Apakah benar demikian prakteknya? Bagaimana dengan media di Indonesia? Apakah pemberitaan media sudah menjadi faktor penting, bersama masyarakat madani, dalam pemberantasan korupsi?

Mempertanyakan peran pemberitaan media dalam pemberantasan korupsi di Indonesia beralasan karena persoalan korupsi masih menjadi persoalan penting yang belum  terselesaikan setelah 72 tahun merdeka. Tumbangnya rezim orde baru yang korup setelah 32 tahun berkuasa  tak membuat penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau keuntungan kelompok karena hutang budi, demikian korupsi didefinisikan, surut. Hadirnya lembaga ekstrajudisial bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menjebloskan lebih dari 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri dan kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan walikota, 130 pejabat eselon I hingga III, serta 14 hakim ke balik jeruji tidak membuat korupsi mati. Korupsi ramai diberitakan sekaligus ramai dan terus dilakukan.

Sebuah kajian yang dilakukan Elisabeth Kramer (terbitan online 2016) mengantar pada kesimpulan yang dapat membuat getir perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lewat tulisannya Kramer menyimpulkan bahwa format pemberitaan korupsi oleh media di Indonesia cenderung didominasi, yang diistilahkan sebagai politics-as-entertainment. Artinya pemberitaan korupsi lebih menyoroti persoalan pribadi,tegasnya sebagai hiburan, alih-alih menyajikan pemahaman mendalam alasan politik dan struktural yang mendasari prilaku korupsi pejabat publik Indonesia.

 Menurut Kramer indikasi pemberitaan korupsi lebih sebagai hiburan  terlihat dari tiga model utama  pemberitaan yaitu skandalisasi (scandalisation), dramatisasi (soap-operafication), dan reportase  yang dangkal (banalities).

Skandalisasi didasari mitos bahwa media berkewajiban  mengekspose  perilaku tidak etis  figur publik  karena publik berhak tahu sikap tindak pejabat pilihannya. Tindakan ini juga bagian dari politik mempermalukan yang tak hanya merusak reputasi si pejabat, namun juga sebagai pengingat  sosial (social reminder)  sekaligus membuka kemungkinan  penyidikan tindak pidana.       

Dalam kasus media di Indonedia skandalisasi ditenggarai sebagai bagian dari upaya memperbesar jumlah audiens.Riset audiens menyebutnya sebagai ratingdan share.  Dengan rating dan shareyang besar/tinggi maka iklan pun  berdatangan. Skandalisasi memang menjual karena hadir bersama sensasionalitas liputan pemberitaan. Sensasionalitas adalah kemampuan liputan media untuk  mengunakan presentasi, isi dan bahasa menarik perhatian dan memprovokasi respon emosi audiens. Meski pada akhirnya berita dan hiburan  bercampur aduk karena upaya menarik audiens lebih besar daripada menginformasikan  kepentingan publik.

Dramatisasi atau soap-operafication adalah kelanjutan dari skandalisasi.Drama selalu menghadirkan tokoh, entah sebagai pahlawan atau villain (penjahat).Publik disuguhi sang tokoh yang identitas kehidupan sosialnya akrab (familiar) namun mengundang emosi untuk terus diketahui dan diikuti. Sedangkan banalities atau reportase yang dangkal adalah konsekuensi dari hadirnya jurnalistik 24 jam non-stop. 

Kondisi ini memaksa jurnalis selalu mencari sudut berita (news angle) yang baru untuk dipresentasikan kepada audiensnya.Akibatnya berita yang disajikan lebih banyak melebar (breadth) alih-alih dalam (depth). Kesegeraan untuk tampil lebih diutamakan ketimbang rincian persoalan.

Kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara Rp 2,3 trilyun dengan tersangka ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto  melalui penetapan yang kedua kalinya sebagai tersangka oleh lembaga anti rasuah tak dapat dipungkiri adalah contoh mutakhir pemberitaan korupsi yang diformat sebagi mega skandal.Pemberitaan kasus korupsi ini dibuka dengan "hilangnya" tersangka setelah KPK menggeledah rumah tersangka. 

Belum terjawab kemana tersangka hilang, tiba-tiba publik dikejutkan dengan tersangka yang merupakan ketua umum partai Golkar menjadi korban kecelakaan tunggal."Drama"terus berlanjut  dengan foto Setya Novanto yang tergolek lemah di rumah sakit dengan narasi penasehat hukumnya. Media sosial dan media konvensional pun terus melebarkan persoalan mulai dari benjolan sebesar bakpau hingga tiang listrik yang berdiri stabil meski dihantam mobil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun