Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Bola

Attitude Sepakbola dan Kans U19 pada 2022

9 Juli 2022   09:29 Diperbarui: 9 Juli 2022   09:31 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Doddi Ahmad Fauji Bahwa sepakbola, bukan semata olahraga dan permainan yang menyenangkan, namun juga merupakan sarana pendidikan untuk semua ranah: kognitif, afektif, behavioristik, psikomotorik, termasuk pendidikan membangun energi ensemble (kompak-serempak). Sepakbola juga bisa disebut kesenian, dari mulai seni tari dan koreografi, hingga seni berlaku jujur alias sportif. Jika tim PSSI termasuk U19 belum bisa berjaya banyak di tingkat regional saja dulu, yang perlu diperiksa bukan hanya kelengkapan skuad serta keterampilan teknis para pemainnya, tapi koreksi juga latar pendidikan di semua ranah, mulai dari tukang bawa konsumsi, koordinator cheerleader, eksponen manajemen, dan terntu pelatih serta para perumput-nya. Karena merumput identik dengan lapangan hijau, para pelatih patut juga mempelajari karakter dan naluri ensemble dalam ekosistem kerbau, badak, banteng, sapi, domba, hingga musuh-musuh para perumput itu. Manusia bila kehilangan akal waras dan nurani kasih, pada hakikatnya adalah binatang. Pekerjaan melunakkan 'binatangisme' dalam jiwa para pemain ini, rasanya sulit diemban oleh pelatih yang kurang 'cingeus' (cerdas lahir batin). Tanpa kasih, pebola bisa saja berubah jadi pegulat yang gemar gelut. Sekalipun berhimpun pemain-pemain lingas yang pandai mengutak-atik lekuk si bundar, namun jika yang dihimpun dalam tim didominasi oleh prajurit dengan attitude buruk, maka kekalahan dalam peperangan sudah bisa diprediksi di atas kertas. Di awal bergabungnya Lionel Messi ke dalam PSG misalnya, dan di situ ada Mbape yang sering lupa berbagi, maka PSG pun terkendala untuk segera mencuat. Para fans PSG pun, termasuk dari Indonesia, kerap menunjukkan kekesalannya terhadap bawaan pelit-nya si Mbape. Bagaimana meluluhkan orang-orang yang tidak mau tunduk agar mau serempak bersama orang-orang yang tunduk, adalah pekerjaan berat Nabi dan Rasul, tentunya juga menjadi pekerjaan para pelatih sepakbola. Tuhan dalam Quran menyeru kepada kaum Musa, 'laksanakanlah kepasrahan, berikan hak orang lain, dan tunduklah bersama orang-orang yang tunduk' (Al-Baqarah ayat 43). Seruan ini disampaikan Musa kepada kaumnya, tapi sebenarnya juga menyeru siapapun. Jika kita membangkang seperti kaum Musa, berarti kita setara dengan kaum Musa. Mungkinkah U19 jadi juara AFF lagi seperti pada 2013, mengingat saat ini Indonesia kembali jadi tuan rumah, seperti pada festival pada 2013? Tak ada yang tak mungkin, dan sebab, bola bisa jatuh atau melenceng ke manapun. Tulisan ini tidak bermaksud memprediksi kans U19, tapi lebih ke renungan diri di tengah kondisi sosial, politik, ekonomi, termasuk olaharaga Indonesia yang kurang menyenangkan, terutama bagi kebanyakan yang kurang beruntung, tapi mungkin kondisi sekarang ini sangat menyenangkan bagi mereka yang sedang bertepuk di atas tahta kekuasaan, keuangan, agama, dan kebohongan. Bila berhadapan dengan Thailand dalam babak final, tim Indonesia selalu terpental, baik untuk senior maupun junior. Bahkan bila dihitung berdasarkan jumlah menang-kalah di luar pertemuan puncak, dalam 12 kali tarung untuk Timsen (senior), Indonesia menang tiga kali, kebanyakannya gigit jari. Sedang untuk Timjun Garuda Nusantara, dalam 8 kali turgul, Garuda menang 2 kali, dan kebanyakannya gigit jari juga. Bisa kita lihat pola pada Timsen, 12 kali silaturahmi kalah 3 kali, dan pada Timjun Garuda, 8 kali silaturahmi kalah 2. Ada pola perkalian dan pembagian 4 di sana. Numerasi ini tentu tidak ekuivalen dengan kalkulasi di lapangan hijau, meski ada hitungan matematis bagi para pelatih yang 'cingeus'. Bicara tentang karakteristik pelatih, para pengambil keputusan di PSSI tentu sudah melakukan studi banding, kajian biografis dan rekam jejaknya, dan uji kelayakannya. Namun saya punya idola dalam pelatih bola, yaitu Kaisar Lautern alias Franz Beckenbawer dan Pep Guardiola, adalah dua pelatih idola saya, yang dari kedua orang itu, saya belajar memungut hikmah. Sedangkan si tukang palang kaso, pelatih Timnas Brazil 2002, yaitu Luiz Felipe Scolari, kurang menyentuh inspirasi bagi saya. Betul bahwa dalam imperium Scholari membuat Brazil menorehkan lagi Piala World Cup 2002, tapi kala itu, tradisi sepak-bola Brazil yang meliuk-liuk bagaikan loncatan granzette dalam tari ballet, dipangkas habis oleh si tukang palang kayu. Kasar pun tak apa, sing penting menang. Tidak kawan, tidak seperti itu laju sepakbola dan kehidupan ini. Kasar dan curang disalahkan oleh semua ajaran, bahkan oleh wasit yang memiliki veto kartu merah. Membahas pelatih ini, perlu jadi pelajaran berharga. Sebab, ada pemain yang gemilang macam Dieogo Armando Maradona yang berhasil mempersembahkan piala World Cup 1986, namun Maradona gagal sebagai 'anemer' dalam World Cup 2010. Lalu dalam tim seteru Argentina, yaitu Jerman, ada Jurgen Klinsmann yang menjadi andalan saat tim panser meraih World Cup 1990, namun ia dinilai gagal mempersembahkan piala serupa untuk Jerman. Siapapun pelatih U19, setelah menang dari Filifina, tentu para NKRI-ana berharap U19 bisa lolos ke semifinal, dan jadi Juara di 2022 ini, lawan siapapun nanti di final. Jika ada yang berharap kebalikannya, bisa jadi mereka adalah para pejudi. Kadang, masalah uang dan kelakuan para pejudi dalam bola, sangat sadis dan meniadakan nilai sportivitas, hingga marwah 'mensana in corpore sano' menguap dari lapangan hijau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun