Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Mimpi Haji Kalau Kepingin Pergi Haji

18 Februari 2020   18:47 Diperbarui: 21 Februari 2020   10:41 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri: buku yang mengantarku ke tanah suci

Maaf, bukan maksud saya untuk takabur jika saya katakan bahwa sesungguhnya saya terlahir dari keluarga tergolong berada sebagai tuan tanah di sebuah desa di Jawa Tengah (Simak: sejarahnya), karena memiliki asset berupa barang tak bergerak seperti sawah dan tanah tegalan seluas hampir 20 ha belum termasuk binatang ternak dan lain-lain. 

Tetapi sejak saya mulai mengerti tentang kehidupan di dunia ini pada awal dekade 1950-an hingga "akhirnya" pada tahun 1997 saya dapat menunaikan ibadah haji, belum satu orang pun yang "pernah" menunaikan ibadah haji, baik pihak orang tua karena sudah meninggal maupun anggota keluarga lain. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hingga saat itu sayalah satu-satunya sekaligus menjadi pionir atau perintis dalam melaksanakan ibadah haji, bukan hanya di lingkungan keluarga bahkan di kalangan masyarakat sekitar. 

Melainkan ada salah satu pasutri anggota keluarga yang telah merencanakan untuk berangkat haji dengan cara menabung pada awal 1964. Namun hingga meninggal mereka gagal berangkat karena uang tabungan raib dalam investasi bodong (sudah sejak dulu sebenarnya sudah ada praktik tipu-tipu itu, hanya belum marak seperti sekarang). Beruntung sebagai gantinya anak-anak mereka kemudian ada yang sudah bisa berangkat menunaikan ibadah haji.

Demikianlah, seiring dengan berjalannya waktu Indonesia mengalami krisis multidimensi yang kemudian melahirkan era Reformasi pada tahun 1998 itu. Selanjutnya kira-kira lima tahun kemudian, tampaknya setelah kondisi perekonomian negeri sudah mulai pulih dan membaik, seperti laron berlomba keluar dari dalam tanah silih berganti tahun demi tahun mereka, para anggota keluarga dan kawan-kawan serta tetangga, pergi menunaikan haji. Bahkan sampai sekarang sebahagian di antara mereka ada yang sudah berangkat haji ke tanah suci untuk kedua kali dan melaksanakan umrah berkali-kali.  

Menyimak kenyataan dan perkembangan yang tentu saja sangat menggembirakan tersebut kadang terlintas juga dalam benak untuk sejenak melakukan flash back, hitung-hitung sebagai muhasabah *) dan kontemplasi diri, jauh dari maksud justifikasi ataupun mencari pembenaran, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima itu.

dokpri: buku yang mengantarku ke tanah suci
dokpri: buku yang mengantarku ke tanah suci
Jika ditinjau dari segi jumlah kepemilikan asset sebagaimana disebutkan di atas mungkin sebagian ada yang berpikir bahwa secara materi dianggap sudah memenuhi syarat wajib (istathaa'a atau mampu) untuk melaksanakan ibadah haji, dengan cara sebagian dijual misalnya sebagaimana biasa dilakukan di kalangan masyarakat Betawi. 

Namun kalaupun jalan itu dibenarkan dan dianggap bijak untuk ditempuh, kendala utamanya adalah dari masyarakat setempat tidak ada yang memiliki daya beli untuk keperluan itu, sementara orang dari luar desa hampir mustahil juga berminat untuk membeli dan memilikinya. Sekadar sebagai catatan saja bahwa hasil produksi pertanian (padi), apalagi dengan teknologi yang masih tertinggal waktu itu, sungguh jauh dari kata layak alih-alih menguntungkan untuk dapat menghidupi secara berkelanjutan.

Harus diakui bahwa semangat beragama Islam di banyak kalangan masyarakat muslim pada dekade 1950-an memang masih sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi dan situasi sekarang jelas sangat jauh berbeda. Hal ini untuk menjadi gambaran bagaimana umat muslim dalam memenuhi rukun Islam yang lima itu secara lengkap pada umumnya bersikap seperti menghadapi menu makanan dengan slogan populernya "empat sehat lima sempurna".  

Slogan tersebut sebenarnya juga masih berlaku untuk kalangan mayoritas umat muslim zaman sekarang. Tentang fakta ini kadang hati kecil merasa terusik ketika mengetahui cukup banyak saudara sesama muslim yang "wara-wiri" berkali-kali pergi haji, sementara banyak saudara muslim lain yang sama sekali belum (dapat) pergi haji karena kendala biaya. Kesannya lebih sebagai life style dan wisata religi ketimbang benar-benar berharap rida Ilahi, kecuali mungkin mereka sebagai penyelenggara bimbingan haji. Sebab tak jarang apa yang dipikirkan manusia belum tentu selaras dengan apa yang dikehendaki Tuhan. 

Masyarakat pada masa itu kerapkali mendapat cerita bahwa pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah hanya bisa melalui jalur laut alias naik perahu kapal yang memerlukan waktu dua bulan atau kadang tiga bulan sejak berangkat hingga kembali ke tanah air. Itupun masih harus menghadapi risiko keamanan karena dapat dibegal di tengah perjalanan. Bisa-bisa pulang tinggal nama, mending kalau sudah menyandang predikat haji.

Akan halnya saya sendiri yang sedikit beruntung pernah mengenyam sekolah dan mendapat pendidikan agama di sekolah agama, dalam mata pelajaran ilmu fikih yang diberikan lebih banyak diuraikan atau ditekankan tentang 3 unsur rukun Islam, yakni salat, puasa dan zakat serta bab-bab muamalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun