Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menelusuri Jejak Nabi Khidir

18 Februari 2020   09:53 Diperbarui: 18 Februari 2020   10:02 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
doa-logika.blogspot.com

Celakanya, dalam proses pengungkapan fakta dan penegakan hukum kemudian, Kebo Ijolah yang dituduh sebagai pelaku pembunuhnya dan menerima hukuman mati, gara-gara sebelumnya ia seringkali memamerkan keris itu di depan khalayak ramai. Cerita berikut dapat memberikan ilustrasi yang mengusik hati dan pikiran untuk tidak berhenti bertafakur tentang apa makna ilmu dan hikmah.

Kisah Berburu Ilmu dan Hikmah

Dalam sebuah riwayat tersebutlah seorang santri yang telah sepuluh tahun berguru di sebuah pondok pesantren di suatu pelosok kaki gunung berpamitan kepada sang kiai untuk "turun gunung", guna mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. 

Dalam perjalanannya bertepatan dengan hari Jumat, tibalah ia di sebuah dusun dan ia pun singgah di sebuah mesjid untuk melaksakan ibadah salat Jumat. Sebagai seorang fresh graduate, dengan khusyuk ia bersimpuh di baris pertama di depan mihrab. 

Tiba saatnya khatib naik mimbar untuk menyampaikan khutbahnya. Di tengah khutbah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara sergahan memecah keheningan, membuat para jamaah terkaget. Ternyata sauara tersebut berasal dari sang santri yang memrotes karena kebetulan ada materi khutbah yang dianggapnya tidak benar. Kejadian tersebut sempat membuat para jamaah resah dan penuh tanda tanya. Kejadian tersebut tak berlangsung lama. 

Sang khatib pun melanjutkan khutbahnya. Namun lagi-lagi, sang santri menyela dan melakukan protes karena ada lagi materi khutbah yang dinilai tidak sesuai dengan ilmu yang pernah ia gali sepuluh tahun lamanya itu. 

Menyaksikan hal yang demikian itu, para jamaah hampir kehilangan kesabaran dan hendak beranjak dari tempat duduk untuk mengusir orang asing tersebut. 

Namun sang kiai yang sekaligus bertindak selaku khatib itu dengan isyarat mengimbau agar jamaah dapat menahan diri. Namun ketika protes sang santri berulang untuk ketiga kalinya, kesabaran jamaah sudah tidak dapat dikendalikan. 

Dan ketika sang khatib juga seperti memberikan aba-aba, maka serempak mereka bangkit mengeroyok, ada yang menampar lalu menyeret serta melemparkannya keluar dari mesjid. 

Beberapa waktu berselang usai pelaksanaan salat Jumat, dan tak satu orang pun tampak di halaman mesjid, sang santri mulai siuman dari pingsannya. Dengan tubuh terhuyung-huyung ia mencoba berdiri, sepertinya belum menyadari apa yang baru saja terjadi atas dirinya. Masih merasakan sakit-sakit di sekujur tubuhnya, barulah ia mulai teringat dan menyadari peristiwa yang menimpa dirinya. 

Antara sedih, pilu, dan menyesal, dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa ilmu yang telah dituntut dengan susah payah selama sepuluh itu hasilnya seperti ini? Pertanyaan itu terus menggelayut dan seperti menyesak di dalam dada. Tanpa menunggu lama, maka ia pun bergegas pergi dan berketetapan hati untuk kembali menemui gurunya dan menceritakan tentang apa yang dialaminya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun