Mohon tunggu...
Dina Putri Amelia
Dina Putri Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Saya adalah Mahasiswa Pariwisata yang memiliki ketertarikan untuk mengeksplor hal - hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekowisata: Konservasi atau Strategi Komersial Destinasi?

4 Desember 2022   13:00 Diperbarui: 4 Desember 2022   12:59 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Destinasi Wisata Goa PindulSumber: dokumentasi pribadi

Kepedulian masyarakat mengenai lingkungan mulai meningkat signifikan seiring dengan bermunculannya fenomena akibat dari kerusakan alam, tentunya kegiatan pariwisata memberikan andil pada kerusakan alam tersebut. 

Perkembangan pariwisata yang masif dan diidentikkan dengan kegiatan interaksi langsung melibatkan alam sebagai kawasan rekreasi, pada praktiknya seringkali ditemukan aktivitas yang merugikan seperti mengubah lahan hijau menjadi area wahana taman bermain dan bibir pantai menjadi resort. Tekanan lingkungan akibat aktivitas pariwisata tentunya menyebabkan adanya polusi, limbah, sanitasi dan masalah estetika (Nofriya et al, 2019). 

Didukung dengan maraknya isu - isu lingkungan seperti mencairnya es di kutub utara, anomali cuaca, kenaikan suhu permukaan bumi dapat memantik kemunculan gerakan - gerakan yang fokus ke arah konservasi lingkungan. Dengan mengadakan kampanye sadar lingkungan dan berbagai komunitas yang bergerak di bidang konservasi, hal tersebut juga meng-influence bidang pariwisata. 

Timbulnya kesadaran masyarakat tentang urgensi lingkungan menekan industri pariwisata untuk menciptakan lingkungan yang berorientasi keberlangsungan jangka panjang dan mengharuskan para pelaku wisata berpikir lebih keras, agar nantinya alam sebagai komoditas utama pariwisata tetap tereksplor dengan bijak. Konsep tersebut diarahkan pada konservasi alam sesuai perkembangan tren yang ada dengan metode alternatif pengembangan ekowisata. 

Ekowisata telah lama menjadi pusat perhatian dunia dan dianggap mampu sebagai tangga menuju keberlanjutan, namun akhir - akhir ini ditemukan adanya penamaan suatu objek wisata alam dengan ekowisata sedangkan tidak semua wisata alam merupakan ekowisata. 

Pada kenyataanya semua destinasi berlomba - lomba untuk memberi label konservasi, hal tersebut juga terjadi pada seluruh lini bisnis yang mencantumkan ‘green’ atau ‘eco’ pada produknya sebagai salah satu strategi menarik minat konsumen. 

Hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan persepsi oleh masyarakat dalam mendefinisikan suatu hal yang berbasis lingkungan dan menganggap ekowisata sama dengan wisata alam. Tidak dapat dimungkiri bahwa istilah ekowisata dapat membantu mengangkat nama sebuah destinasi yang bisa jadi ‘ekowisata’ hanya menjadi sebuah branding saja, tidak disertai dengan penerapan konsep dan prinsip yang sesuai.

Destinasi ekowisata memiliki eksklusivitas yang tidak bisa diakses oleh seluruh kalangan wisatawan, hal tersebut ditujukan agar dapat menyasar ekowisatawan yang lebih bijak untuk berpikir ke arah konservasi dibandingkan dengan wisatawan biasa. 

Dalam praktik penerapannya, masih banyak destinasi yang belum siap untuk menjadi ekowisata. Konsep ekowisata harus mempertimbangkan dua aspek mutlak yaitu pembatasan jumlah kunjungan dan partisipasi masyarakat lokal (Saeroji, 2020). 

Dari kedua konsep mutlak tersebut terdapat hal yang masih menjadi problematika dalam dinamika ekowisata yaitu penerapan wisata massal yang bertentangan dengan prinsip ekowisata, perjalanan wisatawan menggunakan kendaraan meninggalkan jejak karbon yang dapat merusak lingkungan,  dan sertifikasi atau akreditasi ekowisata yang kurang valid karena tidak pernah mengalami peninjauan ulang.

Pada mulanya ekowisata digunakan untuk menggambarkan perjalanan ke daerah - daerah yang masih asri dengan bertujuan menikmati alam dan budaya yang dimiliki oleh daerah tersebut (Thompson, 1995). Hingga definisi ekowisata disimpulkan oleh Fennel (2008) bahwa ekowisata adalah bentuk ketidakpuasan terhadap aktivitas pariwisata konvensional yang tidak memperhatikan unsur sosial dan ekologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun