Banyak yang sependapat Ramadan sering kali menjadi bulan dengan pengeluaran yang meningkat akibat euforia buka bersama, belanja makanan berlebihan, dan persiapan Lebaran. Padahal, esensi Ramadan adalah kesederhanaan dan berbagi. Jika tidak hati-hati, setelah Ramadan malah pusing karena keuangan menipis.
Aku sendiri pernah mengalami Ramadan dengan kondisi keuangan yang cukup menantang. Setelah menikah, aku pindah ke Palangka Raya dan hanya mengandalkan gaji honorer suami Rp1,5 juta per bulan. Sementara aku sendiri masih memperjuangkan status pengangkatan CPNS ku yang diundur hingga Oktober nanti serta mencari sumber pemasukan tambahan. Ramadan tahun lalu cukup berat, karena tanpa perencanaan yang matang, uang bisa cepat habis hanya untuk kehidupan sehari-hari dan berbuka bersama ditengah gaji suami yang sangat kecil dari kelayakan hidup di Kalimantan. Belajar dari pengalaman itu, Ramadan kali ini harus lebih bijak agar tetap bisa menikmati ibadah tanpa khawatir soal keuangan.
1. Evaluasi Kondisi Keuangan Pribadi
Sebelum Ramadan dimulai, penting untuk mengecek kondisi keuangan. Ini semacam "reality check" agar tidak salah langkah. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab seperti "Apakah ada tabungan yang bisa digunakan jika diperlukan?", "Berapa pemasukan bulanan dan pengeluaran wajib?", "Apakah ada peluang menambah pemasukan selama Ramadan?"
Dalam kasusku, penghasilan utama masih dari gaji suami yang hanya 1,5juta itupun tidak setiap bulan mendapatkan gaji tergantung pencairan dari kebijakan instansinya. Penghasilan tambahan dari blog dan freelance menulis juga belum stabil, jadi aku harus benar-benar mengatur pengeluaran dengan cermat. Jika tidak direncanakan dengan baik, Ramadan malah bisa jadi bulan yang menegangkan secara finansial. Bahkan bisa saja kami hanya bisa sahur tanpa bisa berbuka, ya keadaan kami memang semengenaskan itu hari ini.
2. Menyusun Anggaran Ramadan
Agar tidak kebablasan dalam pengeluaran, penting untuk membuat anggaran khusus Ramadan. Ini seperti pagar yang menjaga kita dari keborosan. Misalnya, aku membuat perkiraan anggaran berikut:
- Makan sahur & berbuka: Rp750.000/bulan
- Sedekah & zakat: Rp150.000
- Kebutuhan lain (transportasi, pulsa, dll.): Rp300.000
Dari sini, aku bisa melihat batasan pengeluaran dan tahu di mana harus berhemat. Kalau tidak ada anggaran seperti ini, pengeluaran bisa tidak terkontrol, apalagi saat banyak promo makanan yang menggoda di media sosial.
3. Belanja Cerdas dan Hemat
Salah satu tantangan terbesar di bulan Ramadan adalah pengeluaran untuk makanan. Godaan belanja takjil dan buka puasa di luar bisa membuat anggaran cepat jebol untuk keuangan kami yang serba terbatas ini. Aku belajar beberapa trik untuk tetap hemat:
- Belanja mingguan lebih hemat dibanding belanja harian karena bisa merencanakan menu lebih baik.
- Pilih bahan lokal dan musiman, biasanya lebih murah dan segar.
- Masak sendiri, lebih sehat dan irit dibanding beli makanan berbuka di luar.
- Jangan tergoda promo, kalau tidak benar-benar butuh, lebih baik tidak tergiur.
Dulu, aku sering tergoda beli takjil di luar. Tapi setelah dihitung, jika setiap hari beli takjil Rp15.000, dalam sebulan bisa habis Rp450.000! Padahal, dengan Rp200.000, aku bisa belanja bahan untuk membuat takjil sendiri yang cukup untuk sebulan.
4. Mengatur Pola Konsumsi agar Tidak Berlebihan
Saat puasa, lapar mata sering lebih dominan dibanding rasa lapar yang sebenarnya. Akibatnya, makanan berlebih dan banyak yang terbuang. Beberapa cara untuk mengatasinya adalah masak dalam porsi cukup, jangan sampai mubazir. Dan fokus pada gizi seimbang, bukan sekadar makanan enak.
Aku pernah mengalami masa di mana semangat masak terlalu tinggi, sampai akhirnya banyak makanan terbuang karena tidak habis. Sekarang aku lebih memilih memasak secukupnya dan memastikan setiap makanan dimakan tanpa sisa.