Mohon tunggu...
Dedi Kusuma
Dedi Kusuma Mohon Tunggu... -

Praktisi SDM, Aktivis Pendidikan, Peduli Politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerintahan Berbasis Gebrakan, Bukan Gerakan

9 Agustus 2016   07:54 Diperbarui: 9 Agustus 2016   07:59 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Goenawan Mohamad baru-baru ini bilang, politik kita “kembali jadi permainan lama, tanpa inspirasi…”. Suka tidak suka, demikianlah adanya. Saya selalu berpendapat, bisnis demokrasi ini seperti film Star Wars. Tidak seperti kisah dongeng yang berakhir indah selama-lamanya di ujung cerita, Star Wars bisa bertahan puluhan tahun (dan akan terus abadi entah sampai berapa tahun ke depan) karena satu hal: yang jahat tak selalu berjaya, pun kemenangan yang baik (Jedi, misalnya) juga tak abadi. 

Pemerintahan pun begitu. Benar kita bergerak ke arah yang lebih baik, tapi tak ada jaminan kehidupan politik selalu diisi inspirasi. Pasti ada desperasi. Lihat saja reshuffle kabinet dan majunya Ahok lewat partai politik yang dilakukan di hari yang sama. Dua peristiwa ini berpusat pada kekuatan politik lama yang memang tak bisa tumbang layaknya pohon beringin, Golkar. Kalau pakai judul Star Wars, kita melihat “Setya Novanto Strikes Back”.

Tapi sebenarnya bagaimana sih pemerintahan Jokowi sekarang in? Menilainya apple to apple dengan SBY memang agak susah, karena mereka adalah dua pemimpin dengan metode kerja yang berbeda. SBY banyak waktu untuk berpikir dan menimbang, tapi kurang waktu untuk mengeksekusi dengan cepat. Jadinya pembangunan infrastruktur agak lambat mulainya. Jokowi, di sisi lain, banyak aksi-aksi, tapi kurang waktu untuk berefleksi. Jadinya kita bisa lihat kebijakan pemerintah yang seperti transfer Paul Pogba ke MU, berubah-rubah setiap kali kita scroll twitter. 

Satu hal yang pasti tentang Jokowi, dia adalah pemimpin yang dipiih dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Tanpa dibayar, berbagai kalangan dengan sukarela menyumbangkan tenaga untuk berkampanye bagi Jokowi. Peristiwa dua tahun lalu itu historis, karena kita menjadi saksi sebuah kampanye yang berbasis gerakan. Semua orang diberdayakan, digerakkan bukan oleh uang tapi oleh kepercayaan.

Dua tahun berlalu, bagaimana menilai pemerintahan Jokowi? Kalau bagi saya satu kalimat mewakili itu: Jokowi diantarkan ke pemerintahan dengan gerakan, tetapi kemudian memerintah dengan gebrakan.

Gebrakan? Yah, Jokowi memimpin dengan pendekatan ‘kerja, kerja, kerja’. Nama kabinetnya saja kabinet kerja. He works in an urgent matter.Jokowi selalu menekankan agar segala sesuatu dikerjakan dengan cepat dan dengan hasil yang kelihatan. Betul sekali kita melihat banyak peresmian proyek infrastruktur dan beberapa kebijakan populis yang kelihatan, tapi ada satu lubang besar di pemerintahannya: ketiadaan visi dan perencanaan yang matang.

Jokowi memang bukan cendekiawan dan pembicara yang mumpuni, dia banyak mendelegasikan urusan-urusan tersebut ke orang lain. Tetapi sebagai presiden di negara sebesar Indonesia, kita perlu mulai memikirkan tentang keberlanjutan. Tentang membuat rencana yang kuat agar adagium lama dalam politik, “ganti menteri ganti kebijakan” tidak jadi permanen. Bukankah visi dan rencana yang matang yang membuat Soekarno bisa melahirkan Indonesia? Tanpa adanya visi yang terartikulasikan dengan baik, Indonesia mungkin hanya akan hidup dari perang ke perang, dan tak pernah bermimpi untuk hidup menjadi bangsa merdeka yang bersatu.

Lantas apa yang membuat saya bilang Jokowi minim perencanaan? Indikator paling gampang adalah dengan melihat lembaga negara yang namanya Bappenas, alias Badan PERENCANAAN Pembangunan Nasional. Yang namanya badan perencanaan kan seharusnya menyusun rencana. Gimana rencananya mau selesai kalau selama dua tahun menterinya sudah ganti dua kali. Masa jabatan seperti ini bahkan lebih singkat dari masa jabatan Ketua OSIS.

 Dalam tingkatan eksekusi, kita masih ingat betapa mudahnya pemerintah membatalkan pembangunan FLNG Masela dan memaksa pemindahan instalasi ke darat, setelah Menko Maritim koar-koar dan bertengkar dengan Menteri ESDM. Lucunya, dua menteri ini lalu kemudian direshuffle juga oleh Jokowi. Atau tentang pelarangan dan penghapusan larangan Gojek yang hanya berselang hitungan hari. Daftar ‘blunder-blunder’ ini bisa diperpanjang lagi, tapi mari kita pindah ke isu yang paling mendasar bagi saya.

Sebagai presiden yang slogan utamanya ‘Revolusi Mental’, Jokowi sama sekali tidak memikirkan bagaimana sesungguhnya memulai revolusi ini. Presiden sibuk dengan pembangunan jembatan dan kartu Indonesia sehat yang memang penting, tapi tak sibuk untuk menangkal radikalisme. Tak juga merasa perlu untuk memberikan edukasi yang layak tentang sejarah bangsa kita. Lihat saja bagaimana Menteri Pertahanan dibiarkan saja ngomong sesukanya tentang bahaya laten komunisme yang tak jelas dasar objektifnya. 

Bagaimana dengan HAM? Jokowi dengan entengnya memasukkan Wiranto ke kabinet, tentunya dengan pertimbangan pragmatis agar pembangunan berjalan mulus tanpa gangguan politik. Lepas dari terlibat atau tidaknya Wiranto dalam konflik di Timor Timur dan 1998, kemunculan dia kembali di pemerintahan tidak menyimbolkan sesuatu yang progresif. Bukankah Jokowi dipilih karena dia tak punya kaitan dengan Orde Baru? Yah ini semacam Poco-Poco, gerakannya maju lalu mundur lalu muter ke samping lalu maju lagi. Tak jelas arahnya.

Dampak dari “kerja atau diganti” ini adalah pentingnya pemerintah yang menggebrak, bukan menggerakkan. Ini didukung dengan media online kita yang senang dengan judul bombastis agar traffic website tinggi, dan seperti botol ketemu tutup karena masyarakat pun senang dengan aksi-aksi pemerintah yang mendebarkan. Itu sebabnya Menteri Susi begitu terkenal, karena gebrakannya menenggelamkan kapal.

 Don’t get me wrong,bagi saya yang dilakukan beliau itu relevan karena memang tantangan di kementeriannya seperti itu, tapi bukan berarti semua menteri harus menggebrak. Kita masih ingat Menteri Tenaga Kerja lompat pagar, Menteri PAN-RB yang tiba-tiba mau mengadakan Training ESQ massal, dan sebagainya. Atau yang kemarin baru rame, Mendikbud baru yang punya gebrakan sekolah seharian penuh.

Padahal kalau kita lihat sedikit ke belakang, tak usah jauh-jauh, kita pasti menyadari perubahan besar yang terjadi di Kementerian Keuangan. Tanpa perlu hiruk pikuk gebrakan, Sri Mulyani melakukan reformasi birokrasi di kementerian, yang saat ini bisa kita lihat hasilnya. Bukan hanya ekonomi kita yang stabil, tetapi modal terbesar, yaitu lahirnya manajemen birokrasi yang profesional, juga berhasil ditanamkan.  Ini yang bagi saya perlu digarisbawahi. 

Memerintah kota, seperti Bandung atau Jakarta atau Surabaya, ada keuntungannya karena pembangunan fisik termasuk fokus utama, dan hasilnya bisa segera kelihatan. Memerintah negara, mengelola kementerian, butuh perencanaan. Butuh kematangan strategi, karena hasilnya mungkin tak selalu langsung kelihatan, atau hasilnya mungkin bukan jadi konsumsi utama bagi media online.

Menutup tulisan ini, saya berharap agar Presiden bisa mengimbangi kebijakan-kebijakan populisnya dengan melakukan sebuah gebrakan baru: memulai pemerintahan yang menggerakkan. Ajak masyarakat akar rumput untuk ikut bekerja mendukung kegiatan pemerintah dan bukan hanya menerima subsidi, ajak masyarakat terpelajar untuk ikut memberikan usulan atau bahkan ambil bagian dalam proses pemerintahan, dan bukan hanya aktif pada saat kampanye dan jadi penonton setelah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun