Mohon tunggu...
Dwi Kusuma Ningsih
Dwi Kusuma Ningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hello!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengenal "Hustle Culture", Budaya Gila Kerja Generasi Millenials

7 Januari 2022   17:13 Diperbarui: 7 Januari 2022   17:59 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aktivitas bekerja memang sudah menjadi rutinitas bagi kebanyakan orang yang dilakukan sehari-hari dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun ternyata, tak sedikit pekerja yang pada akhirnya harus mengorbankan waktu dan kesehatannya demi pekerjaan yang mereka jalani. Fenomena ini  lah yang kita kenal dengan hustle culture. Hustle culture adalah sebuah  kondisi yang terjadi dimana seseorang memiliki motivasi untuk bekerja melebihi batas waktu dan memaksa diri demi meraih kesuksesan. Bahkan mereka seolah ingin bekerja keras lebih banyak daripada waktu normal. Hingga sampai di satu titik dimana mereka akan merasa bersalah ketika mereka menggunakan sebagian waktunya untuk beristirahat.

Gaya hidup hustle culture pada akhirnya dapat merusak keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work life balance) seseorang serta berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan emosional. Tren ini biasanya hampir dialami oleh sebagian besar para pekerja di berbagai industri perusahaan, terutama mereka yang berasal dari kalangan fresh graduate. Tuntutan kebutuhan dan gaya hidup yang banyak mengharuskan kebanyakan orang harus bekerja lebih keras demi mendapatkan penghasilan yang besar meski harus mengorbankan waktu dan kesehatan mereka.

Tentu tren gaya hidup seperti ini bukan merupakan gaya hidup sehat yang bisa dijalani oleh kebanyakan orang. Pasalnya, hustle culture dapat membawa dampak buruk tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang sekitarnya, baik secara fisik maupun mental. Lantas sebenarnya apa saja sih dampak dari tren yang berkembang di kalangan anak  muda ini?

  • Stres Berlebihan

Bekerja berlebihan tentu dapat menimbulkan stres lantaran harus berpikir terus menerus tanpa istirahat. Pada dasarnya otak manusia memerlukan waktu untuk beristirahat setelah bekerja sepanjang hari. Namun karena tren gila kerja, otak manusia dipaksa untuk bekerja terus menerus tanpa beristirahat, Sepanjang hari seseorang dituntut memikirkan jadwal meeting, hasil evaluasi kerja, hingga rencana pekerjaan selanjutnya. Jika tidak beristirahat, tak heran jika seseorang mengalami stres yang berkepanjangan hingga memicu banyak masalah lainnya, seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga gangguan tidur.

  • Burnout

Jika mengalami stres yang berkepanjangan, bukan tidak mungkin jika seseorang juga  mengalami resiko untuk terkena burnout. Sebuah kondisi ketika dimana seseorang merasa lelah dan tidak bisa bekerja lantaran sangat stres dengan pekerjaanya. Burnout dapat menghilangkan semangat dan motivasi bekerja seseorang. Hal ini tentu dapat menurunkan performa kerja sehingga berisiko merugikan karir seseorang.

  • Kehidupan Tidak Seimbang

Gaya hidup ideal masyarakat kita adalah harus memiliki work-life balance. Seharusnya kita memiliki waktu yang seimbang untuk bekerja, beristirahat, bermain dengan teman, bercengkerama dengan keluarga, hingga quality time dengan diri sendiri. Namun, karena tren ini justru akan membuat seseorang kehilangan keseimbangan tersebut.

Meski tren hustle culture ini booming di kalangan millenials saat ini tapi pada dasarnya fenomena gila kerja ini pertama kali ditemukan pada 1980an. Fenomena ini menyebar dengan cepat, terutama di kalangan anak muda. Tren ini merupakan hasil dari era neoliberalisme dimana saat hampir sebagian negara di dunia melakukan liberalisasi dimana pelayanan hanya menguntungkan mereka yang memiliki modal saja, bukan berdasarkan kepada keuntungan masyarakat. Dampaknya? Tentu terjadi kesenjangan dalam masyarakat, baik dari segi sosial maupun ekonomi.

Jika di negara maju, kebanyakan perusahaan sangat memperhatikan kenyamanan para pekerjanya, di negara berkembang justru sebaliknya. Saat ini sering ditemukan diantara mereka yang lembur hingga tengah malam untuk bekerja dan menganggap sepele jam tidur/istirahat mereka. Jangankan hari libur, hanya untuk sekadar meminta cuti saja seringkali dipersulit.

Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, juga melahirkan banyak figure yang berhasil mencapai kesuksesan di usia muda, membuat orang-orang semakin terdorong untuk bisa sukses di usia muda. Tak heran, jika sebagian orang banyak yang terobsesi ingin menjadi seperti Mark Zuckerberg, Elon Musk, atau Steve job. Kebanyakan dari mereka ingin berlomba-lomba untuk bekerja non-stop tanpa mempedulikan kesehatannya dengan alasan bahwa mereka percaya dengan bekerja terus menerus  maka akan memperbesar peluang sukses di usia muda. Kini, budaya ini seolah telah menjadi standar bagi banyak orang untuk mengukur tingkat produktivitas dan kinerja seseorang. Fenomena ini membuat masyarakat kita percaya bahwa aspek paling penting dalam kehidupan adalah mencapai tujuan profesional dengan bekerja keras tanpa henti (non-stop).

Pada hakekatnya, setiap manusia memiliki kuasa penuh atas dirinya untuk berbuat dan memutuskan sesuatu, sekecil apapun bentuknya. Hal tersebut merupakan sebuah dasar kehidupan yang membuat setiap orang dengan sepenuh hati menjalani kehidupan dengan bayang-bayang fenomena hustle culture ini. Hal ini persis terjadi seperti yang dialami oleh orang Jepang dimana mereka menganggap bahwa kehidupan yang mereka jalani di dunia itu hanya untuk bekerja. Alih-alih tertekan oleh kenyataan tersebut, justru mereka merasa bangga terhadap pekerjaan yang mereka lakukan terlebih ketika mereka mendapatkan hasil yang baik. Sebaliknya mereka akan merasa malu ketika mereka tidak bisa menyelesaikan pekerja yang dilimpahkan kepada mereka dengan hasil yang diinginkan. Fenomena ini merupakan wujud loyalitas yang tercipta bagi mereka dan dianggap sebagai sebuah pengharagaan tertinggi terhadap sebuah pekerjaan.

Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Semakin pesatnya perkembangan teknologi dan era globalisasi membawa perubahan mendasar pada inti dan elemen-elemen kehidupan. Jumlah target, tuntutan pekerjaan, beban lingkungan sekitar, evaluasi kerja, hingga kondisi internal pada masing-masing diri seseorang mempengaruhi mereka untuk cenderung melakukan pekerjaan secara berlebihan dan mengalami ketergantungan terhadap pekerjaannya sehingga tidak bisa menentukan batas yang tepat antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun