Mohon tunggu...
DKN SUMBAR
DKN SUMBAR Mohon Tunggu... Lainnya - Dewan Kepemudaan Nasional Perwakilan Daerah Sumatera Barat

Dewan Kepemudaan Nasional merupakan organisasi kepemudaan yang bergerak dalam mendukung kegiatan pemuda Indonesia, Sumatera Barat khususnya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

DKN SUMBAR : MENOLAK Pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker

19 Oktober 2020   11:16 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:17 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                             “Pengesahan Omnibus Law UU CIPTAKER Tidak diterima Banyak Masyarakat Indonesia”

Zira Atika Putri

Kepala Bidang Eksosbud Polhukam DKN SUMBAR

                Sudah hampir enam bulan kita semua dihebohkan dengan berbagai Rancangan Undang-Undang yang katanya akan memberikan kemaslahatan dalam banyak aspek kehidupan. Rancangan yang diawal tahun 2020 diberitakan akan segera dieksekusi dan disahkan menjadi Undang-undang, ternyata terbukti sudah di Oktober ini. Konsep omnibus law awalnya banyak tidak di mengerti masyarakat. Omnibus Law atau yang dikenal dengan Omnibus Bill merupakan undang-undang yang dibuat dengan tujuan mencabut, menambah dan mengubah Undang-undang sekaligus agar menjadi lebih sederhana. Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Savitri menjelaskan, omnibus law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara 1.

              Omnibus law lahir di Indonesia atas inisiasi dari presiden RI pada pidato pelantikannya, 20 Oktober 2019. Dalam pernyataan itu, beliau menegaskan bahwa dalam omnibus law akan ada dua hal yang diutamakan yaitu menyangkut ketenagakerjaan dan prospek UMKM di Indonesia. Sebelum Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi Undang-undang, secara keseluruhan, ada 11 klaster yang akan dimasukkan dalam pembahasan omnibus RUU Cipta Kerja ini, yaitu penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, adminitrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan ekonomi khusus.

            5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar sidang paripurna untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Hal ini tentunya semakin membuat banyak kalangan menaruh mosi tidak percaya kepada DPR RI, karena selain tidak adanya transparansi yang jelas dalam proses penyusunan UU ini, tidak adanya keterlibatan pihak yang seharusnya dilibatkan dalam pembahasannya, juga pengesahannya yang menuai polemik berkepanjangan karena dilakukan secara diam-diam dan bahkan memunculkan masalah baru yaitu adanya perdebatan peserta sidang antara fraksi yang menolak untuk pengesahan dengan pemerintah.

             Saat masih menjadi Rancangan, UU Omnibus Law ini juga dikuatirkan, akan mengubah undang-undang lainnya seperti, UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Perusahaan, UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat  Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI, UU SJSN No.40 Tahun 2004 terkait Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun. Semuanya diubah untuk semakin menambah keuntungan bagi investor, terutama membuka ruang lebar bagi investor asing untuk bebas tanpa hambatan dalam hal perlindungan bagi buruh Indonesia di dalam negerinya sendiri.

              Setelah RUU ini disahkan menjadi UU, aksi serentak dibanyak daerah Indonesia semakin bergejolak. Mulai demo serikat buruh Indonesia, mahasiswa, hingga pelajar SMA/STM pun juga turut turun ke  lapangan yang menuntut pemerintah untuk membatalkan pengesahan tersebut. Aksi masa disetiap daerah tak terbendung lagi, karena aksi demi aksi yang sudah dilakukan sejak bulan Februari lalu, seolah-olah tak mendapat respon baik dari pemerintah, legislatif maupun eksekutifnya. Aksi masa ini semakin memanas diawal Oktober, karena pengesahan UU yang dinilai jauh dari transparansi hukum. Bahkan, aksi serentak di setiap daerah ini, mendapat respon yang anarkis dari aparat keamanan yang diminta lembaga daerah untuk ikut mengawal masa aksi, dan berja-jaga jika terjadi tindakan heroik dari masa aksi yang memberikan peluang menghadirkan provokator.

               Anggapan demi anggapan dari masyarakat semakin mewarnai sistem perpolitikan di negeri ini. Mulai dari pembahasan hingga pengesahan RUU menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menyalahi prosedur hukum, kurang tepat untuk dibahas dalam kondisi pandemi seperti ini, dan secara substantif isi dari UU ini tidak sesuai dengan amanat konstitusi serta yang paling menjadi sorotan adalah bertentangan dengan hak tenaga kerja Indonesia, yang sudah diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak berhenti disitu saja, pengesahan UU yang menimbulkan kontroversi yang memuncak dari masyarakat Indonesia, justru tidak dipedulikan oleh lembaga legislatif sebagai pihak perancang UU ini, sehingga masyarakat semakin geram akan hal ini, namun tidak sedikit juga yang mencoba jalan diplomasi dengan lembaga eksekutif daerah untuk mendesak presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan serikat buruh Indonesia juga membentuk tim khusus untuk mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, kedua opsi ini tentunya harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku di negara kita, dan mempertimbangkan sistem yang kita anut.

              Beralih dari konsep dan latar belakang kontroversi pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, kita bisa melihat dengan sederhana atau berkaca dari data-data perekonomian Indonesia. Baik itu mengenai kondisi dan perkembangan investasi asing yang masuk kedalam negeri, atau bahkan grafik kontribusi pendapatan masyarakat terhadap laju pertumbuhan ekonomi, serta masih banyak hal lainnya yang bisa kita jadikan tolak ukur, apakah negeri kita sudah siap dengan banyaknya regulasi yang mengatur berbagai sektor kehidupan, yang katanya mampu memberikan ruang kepada masyarakat untuk lebih maju, tanpa mengedepankan kepentingan golongan tertentu saja. Semoga saja benar. Regulasi yang begitu mempersulit disederhanakan menjadi satu untuk memudahkan jalannya roda pemerintahan dan perekonomian negeri. Tapi, kita semua tentu berharap penyederhanaan ini masih tetap berlandaskan nilai kemanusiaan, tidak menyimpang dari ideologi negara dan juga amanat konstitusi 45.

              Kembali dengan hal-hal yang bisa kita jadikan dasar kenapa negeri kita masih belum siap dengan gabungan beberapa regulasi menjadi satu payung hukum. Pertama, hal ini akan membuat diskriminasi semakin menjadi-jadi, meskipun bertujuan untuk memudahkan, namun kita masih belum punya kapasitas dan kualitas hukum yang memadai untuk bisa menjalankan beberapa aturan jadi satu aturan. Selain masih tingginya kasus pelanggaran hukum, baik dengan kategori sedang sampai yang serius. Kita juga akan dihadapkan dengan persaingan bebas di Pasar Internasional dan Revolusi Industri 4.0 yang periode ini sudah dirasakan.yang akan memberikan efek besar terhadap kasus-kasus hukum lainnya. Kedua, Laju investasi di Indonesia masih terbilang stabil, meskipun untuk angka penyerapannya masih belum berkembang. Menurut pakar ekonom Indonesia (Faisal Basri, dalam pertemuannya di acara televisi nasional, 8 Oktober 2020) menyakan bahwa kondisi investasi asing yang masuk ke dalam negeri saat ini adalah angka tertinggi yang pernah dicapai semasa pemerintahan Pak Jokowi. Jika kita memberikan peluang sebebas-bebasnya kepada investor asing, tentu ini akan adanya ketidakseimbangan antara input dengan outpunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun