Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wajah Ki Hajar Dewantara Diabadikan pada Uang dan Prangko

31 Maret 2017   19:50 Diperbarui: 1 April 2017   18:00 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemakalah Bambang Purwanto (kiri) dan Djoko Marihandono (kanan) / Foto-foto: Djulianto Susantio

Kamis, 30 Maret 2017 Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan seminar tokoh. Sejak lama kegiatan seperti ini berlangsung di museum yang berlokasi di Jalan Abdul Rahman Saleh 26, Jakarta Pusat. Berganti-ganti tokoh ditampilkan, yang jelas berhubungan dengan gerakan kebangkitan nasional. Kali ini tokoh yang dipilih adalah Ki Hajar Dewantara. Tema yang diambil dalam seminar ini adalah Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan.

Hadir empat orang pembicara. Pada sesi pertama Dr. Yuda B. Tangkilisan (Dosen FIB UI) dan R. Bambang Widodo, M.Pd (Majelis Luhur Taman Siswa). Sementara pemakalah pada sesi kedua Prof. Djoko Marihandono (FIB UI) dan Prof. Bambang Purwanto (FIB UGM).

Soewardi Soerjaningrat

Yuda B. Tangkilisan membawakan makalah berjudul Dari Politik ke Pendidikan: Sekilas tentang Langkah Perjuangan Soewardi Soerjaningrat dalam Pergerakan Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia, R. Bambang Widodo (Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat Sampai Ki Hadjar Dewantara), Djoko Marihandono (Prinsip Pendidikan Taman Siswo Pada Awal Pendiriannya), dan Bambang Purwanto (Ki Hadjar Dewantara, Berpolitik dengan Akal Budi dan Hati Nurani).

Dari beberapa makalah tersebut, saya mencoba uraikan inti makalah yang penting diketahui masyarakat. Memang sebagian besar sudah ada dalam buku-buku sejarah. Namun tidak ada salahnya kalau kita lihat lagi secara ringkas. Dijamin tulisan ini bukan hoaks karena berdasarkan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.

Perjuangan Soewardi kerap dibatasi dan hanya merujuk pada gerakan pendidikan melalui organisasi dan sekolah Taman Siswa. Soewardi bersama teman seperjuangannya Tjipto Mangoenkoesoemo dan EFE Douwes Dekker dikenal sebagai Tiga Serangkai. Mereka mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij yang jelas berhaluan politik. Partai Hindia menawarkan dan memperjuangkan pembentukan suatu masyarakat politik supra primordialisme yang bersatu, dan dibayangkan sebagai bangsa Hindia.

Sumbangan penting Suwardi lainnya adalah pemakaian dan pengenalan istilah Indonesia. Menurut makalah Yuda, tidak jelas dalam Indische Vereeniging (IV)  atau Perhimpunan Hindia yang pertama kali mengambil istilah ‘Indonesia’ dari etnografi kolonial dan ruang kuliah Leiden serta menerapkannya kepada ‘calon negara’ dalam arti murni politis, namun halaman-halaman Hindia Poetera, yakni jurnal bulanan IV, Soewardilah yang pertama kali mencatat penggunaan kata ‘Indonesia’ oleh seorang Indonesia. Demikian Yuda mengutip tulisan Elson (2008).

Soewardi pernah berkiprah di dunia pers. Ia pernah menulis “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya saya seorang Belanda). Tulisan yang dibuatnya pada 1913 itu dinilai tajam dan radikal. Ya, itulah Soewardi sebagai jurnalis dan politikus. Meskipun tidak menyelesaikan studi di STOVIA, pendapatnya selalu kritis. Dua rekannya, Tjipto dan Douwes Dekker juga serupa. Akibatnya Tiga Serangkai dibuang ke Belanda.

Taman Siswa

Upaya pendirian Taman Siswa bermula pada Agustus 1920 ketika Soewardi menjalani hukuman penjara di Pekalongan.  Saat menjenguk isterinya yang sakit, ia diingatkan perlu adanya Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah.

Berkat pengalamannya sebagai guru, pada 3 Juli 1922 Suwardi mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” setingkat Taman Kanak-kanak. Selanjutnya pada 7 Juli 1924 mendirikan “MULO Kweekschool” setingkat SMP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun