Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

UU Majapahit Memuat Istilah "Dharmadhyaksa" (Hakim Tinggi) Hindu dan Buddha

20 Juni 2017   07:47 Diperbarui: 20 Juni 2017   17:33 3321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: ancient-origins.net

Entah mengapa di bulan Ramadan ini kembali beredar postingan tentang Kerajaan Majapahit dan tokoh Gajah Mada di media sosial. Sumbernya adalah sebuah buku berjudul Majapahit Kerajaan Islam. Dalam buku itu nama Gajah Mada ditulis Gaj Ahmada, berciri kearab-araban dan tentu saja bernuansa Islami. Dampaknya, dalam beberapa postingan lain Majapahit dibuat guyonan sebagai Maj Afahid dan singkatan Universitas Gajah Mada (UGM) pun menjadi Universitas Gaj Ahmada (UGA).

Sebenarnya perdebatan tentang Kerajaan Majapahit bercorak Hindu atau Islam, telah berkembang sejak beberapa tahun lalu, tidak lama setelah buku tersebut diluncurkan. Munculnya hampir bersamaan dengan buku bertopik Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Kedua buku memakai sumber data yang minim. Akibatnya tafsiran kedua penulis sangat mengada-ada. Rupa-rupanya pengikut pseudo-sains atau ilmu semu semakin banyak saja di Nusantara ini.

Sejak sebagian orang percaya Atlantis ada di Nusantara, memang banyak "pakar" mengembangkan teori dengan metode utak atik gatuk atau cocoklogi. Bahkan ada teori berdasarkan wangsit dan menyan. Kadar ilmiahnya jelas jauh dari harapan. Dengan modal sedikit data dan cerita rakyat, jadilah "kajian ilmiah" menurut versi mereka.

Perundang-undangan
Setahu saya, salah satu syarat negara berdaulat adalah memiliki undang-undang. Kerajaan Majapahit pun memiliki undang-undang berbahasa Jawa Kuno. Namanya Kitab Agama atau Kutara Manawa. Sebagian besar isi kitab itu diadaptasi dari Kutaramanawadharmasastradi India. Prof. Dr. Slametmuljana, sejarawan dan filolog dari UI, pernah menulis buku Perundang-undangan Madjapahit (1967).

Buku Perundang-undangan Madjapahit, 1967 (Dokpri)
Buku Perundang-undangan Madjapahit, 1967 (Dokpri)
Istilah agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, berarti pengetahuan, adat, atau ajaran. Sementara itu, istilah Kutara Manawa sejauh ini diketahui terdapat pada dua buah prasasti. Pada prasasti Bendosari (dari masa Hayam Wuruk), terdapat kalimat ...ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara.... Sebutan hampir serupa terdapat pada prasasti Trawulan (1358 Masehi). Bunyinya antara lain ...ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwecana... (Slametmulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979).

Sebenarnya Kitab Agama terdiri atas 275 pasal. Namun karena ada yang sama atau mirip, dalam terjemahan hanya disajikan 272 pasal. Kitab Agama mencakup hukum pidana dan hukum perdata.

Agar lebih jelas, saya sertakan contoh pasal 228. Dikatakan, "Jika seorang sudra terutama jika seorang candala memeluk kepala brahmana, supaya tangannya dipotong oleh sang prabu; jika menendang maka kakinya hendaknya dipotong oleh sang prabu".

Kita lihat lagi pasal 229, "Jika seorang sudra atau candala menempati tempat duduk seorang brahmana, supaya pantatnya dipotong oleh sang prabu".

Nah, sepengetahuan saya sudra dan brahmana merupakan nama kasta dalam agama Hindu. Ada empat kasta. Kasta tertinggi adalah Brahmana, selanjutnya Ksatria dan Waisya. Sudra merupakan kasta paling rendah.

Pengadilan di Majapahit dipimpin oleh raja sebagai Sang Amawabhumi, dibantu dharmadhyaksakasaiwan (kepala agama Siwa/Hindu) dan dharmadhyaksakasogatan (kepala agama Buddha). Dharmadhyaksa berkedudukan seperti hakim tinggi pada masa sekarang. Dalam kerjanya dharmadhyaksa dibantu oleh beberapa upapatti, yang dalam prasasti disebut pamegat atau sang pamegat,disingkat samgat (berarti sang pemutus). Seluruh dharmadhyaksa dan upapatti bergelar dang acarya.

Mengingat Siwa merupakan agama resmi di Majapahit, maka jumlah dharmadhyaksakasaiwan lebih banyak daripada dharmadhyaksakasogatan. Keberadaan dharmadhyaksa dan upapatti disebutkan dalam beberapa prasasti, antara lain prasasti Kudadu (1294 Masehi), Sidateka (1323 Masehi), Trawulan (1358 Masehi), dan Bendosari (dari masa Hayam Wuruk).

Meskipun Siwa atau Hindu merupakan agama mayoritas pertama, disusul agama Buddha, bisa saja sudah ada penduduk Majapahit yang memeluk Islam. Adanya penduduk yang memeluk Islam bukan berarti Majapahit merupakan kerajaan Islam. Kalau kerajaan Islam tentu memberlakukan hukum Islam, bukan Kitab Agama sebagaimana dikemukakan di atas.

Ini bukan utak atik gatuk atau cocoklogi yah. Semoga tulisan pendek ini mampu mencerdaskan masyarakat.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun