Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Kisah Celengan, Bukan Gajahan atau Kudaan

19 Desember 2016   07:16 Diperbarui: 19 Desember 2016   07:56 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Celengan koleksi Museum Nasional (Sumber: scoopwhoop.com)

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan hadiah sebuah benda dari tanah liat bakar karena mengajukan pertanyaan ketika berlangsung acara diskusi publik tentang kendi kuno dan kendi masa kini. Benda itu dikenal sebagai celengan. Nah, bagaimana cerita tentang celengan, ikutilah penelusuran saya terhadap benda tanah liat yang sudah dikenal sejak lama itu.

Celengan, apapun bentuknya, umum dikenal hingga sekarang. Sebelum adanya bank-bank modern, masyarakat kuno menggunakan celengan sebagai ‘bank primitif’. Gambaran yang paling jelas terdapat di situs Trowulan peninggalan Kerajaan Majapahit.  Di sana sering kali ditemukan petunjuk-petunjuk penting yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi masa lampau. Artefak utamanya berupa pecahan tanah liat yang kalau disambung-sambung menjadi celengan.

Para arkeolog memerkirakan tradisi pembuatan celengan berkembang pada abad ke-13 hingga ke-15. Umumnya celengan Trowulan terbuat dari tanah liat bakar (terakota). Sebagian besar celengan yang ada sekarang tidak diketahui lagi secara persis lokasi penemuannya pertama kali karena benda-benda itu dikumpulkan dari penduduk setempat yang mendapatkannya secara tidak disengaja. Hanya sebagian kecil yang dihasilkan lewat survei lapangan dan ekskavasi secara sistematis (Supratikno Rahardjo, 1990). Karena tempat penemuannya yang pasti tidak diketahui, tentu saja kita sulit menafsirkannya secara lebih mendalam.

Tiga Tipe

Disayangkan, sejak lama perhatian kepada artefak-artefak dari masa Majapahit itu, terabaikan oleh kita-kita di sini. Akibatnya banyak artefak yang tergolong utuh dan bagus justru terbang ke negeri orang. Artefak celengan yang tergolong masterpiece antara lain terdapat di Museum Princessehoff dan koleksi pribadi R. Refuge, keduanya di Belanda.

Celengan yang ditemukan di Trowulan, umumnya dibagi ke dalam tiga tipe, yakni tipe manusia, tipe hewan, dan tipe guci. Sayang, hingga kini belum pernah ditemukan celengan manusia dalam keadaan utuh. Yang banyak teridentifikasi adalah fragmen celengan dengan motif muka orang dewasa.

Karena banyaknya, Moh. Yamin (Menteri Pendidikan dan Pengajaran saat itu), merekonstruksi fragmen celengan itu sebagai wajah Mahapatih Gajah Mada. Pendapat demikian masih dipercaya hingga kini. Dalam penggambarannya, patung Gajah Mada dibuat berbadan gemuk dan bermuka tembam, mungkin seperti gajah. Padahal, penggambaran demikian masih mengandung polemik di kalangan arkeolog.  

Celengan berbentuk hewan lumayan banyak ditemukan di Trowulan. Variasinya adalah babi atau celeng, domba, kura-kura, kuda, dan gajah. Ukuran terkecil adalah 6 cm (lebar) dan 9,5 cm (panjang). Menurut laporan Muller, salah seorang peneliti celengan dari masa Hindia Belanda, ukuran celengan dalam keadaan utuh adalah panjang 45 cm dan tinggi 31 cm.

Celengan masa kini (Sumber: liputan6.com)
Celengan masa kini (Sumber: liputan6.com)
Bentuk celengan terbanyak adalah tipe guci. Ukurannya adalah sebesar bola tenis hingga bola basket. Ada pula berbentuk pot atau jambangan. Yang paling menarik dari celengan jenis ini adalah adanya lubang-lubang tembus di sekeliling badannya. Mungkin fungsi lubang itu untuk mengetahui berapa isi celengan. Dugaan lain untuk mengeluarkan tekanan sewaktu pembakaran sehingga benda tanah liat itu tidak pecah atau retak.

Berdasarkan bukti-bukti itulah kemudian para arkeolog menafsirkan bahwa tradisi menabung sudah dikenal pada abad ke-14, yakni masa kejayaaan Kerajaan Majapahit. Namun sebagian arkeolog masih memertanyakan apakah memang benar celengan-celengan itu digunakan sebagai sarana menabung sebagaimana kebiasaan masyarakat masa kini ataukah mempunyai fungsi lain, misalnya fungsi keagamaan sebagaimana yang terjadi di India.

Sudah puluhan tahun masalah demikian masih diperdebatkan. Selain kurangnya data pendukung, yakni sumber tertulis yang sezaman maupun sebelum atau sesudahnya, bukti-bukti artefaktual pun belum meyakinkan benar. Apalagi hingga kini para peneliti belum pernah menemukan celengan dalam keadaan utuh, lengkap dengan mata uang di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun