Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bahasa Melayu Kuna dari Masa Sriwijaya, Cikal Bakal Bahasa Indonesia

8 Januari 2023   13:59 Diperbarui: 19 Januari 2023   20:28 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para peserta mendengarkan penjelasan dari Ibu Ninie tentang Prasasti Telaga Batu dan Talang Tuo (Dokpri)

Kalau dua organisasi profesi membuat kegiatan santai, tentu bakalan seru. "Janjian di Museum" menjadi ajang kolaborasi pertama antara Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek dengan Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI). Kedua organisasi profesi masih 'saudara dekat'. Ini karena epigrafi menjadi bagian dari arkeologi. Epigrafi adalah pengetahuan yang mempelajari aksara kuno. Aksara-aksara itu dituliskan pada batu atau logam yang lazim disebut prasasti.

Pada kesempatan itu beberapa peserta, yakni anggota IAAI Komda Jabodetabek dan sejumlah undangan, mendengarkan cerita dari Ibu Ninie Susanti, arkeolog yang menjadi epigraf. Beliau kini menjabat Ketua PAEI.

Obrolan santai perdana ini bertopik 'Mengenali Prasasti Kedatuan Sriwijaya'. Bukan hanya prasasti, sumber data Kedatuan Sriwijaya berupa berita asing dan tinggalan arkeologi. Acara berlangsung di Museum Nasional. Perlu diketahui, hampir separuh dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Indonesia berada di Museum Nasional.

Para peserta mendengarkan penjelasan Ibu Ninie tentang Prasasti Kedukan Bukit dan Kota Kapur (Dokpri)
Para peserta mendengarkan penjelasan Ibu Ninie tentang Prasasti Kedukan Bukit dan Kota Kapur (Dokpri)

Menurut Ibu Ninie ada sekitar 47 prasasti yang diduga berasal dari masa Sriwijaya. Isi prasasti-prasasti itu ada yang panjang, ada yang pendek. Prasasti Sriwijaya umumnya berisi tentang awal pendirian wanua Sriwijaya; ancaman pada keluarga raja dan pejabat yang tidak taat kepada kedatuan, ancaman pada datu-datu di bawah kedaulatan Sriwijaya yang tidak setia pada Kedatuan Sriwijaya, dan beberapa pertempuran untuk menegakkan hegemoni; peresmian taman yang dipenuhi tanaman; dan pernyataan tentang perjalanan suci yang berhasil.

Mendengar istilah Kedatuan, mungkin kita akan bingung. Beberapa pakar menilai Sriwijaya lebih tepat disebut sebagai kedatuan, bukan kerajaan. Soalnya negara itu menerapkan sistem monarki kedatuan. Datu adalah sebutan seorang pemimin (raja atau ratu) dalam bahasa Melayu, dengan gelar tertingginya Datu Maharaja.

Pakar asal Perancis, George Coedes, mengemukakan nama kedatuan melekat pada Sriwijaya karena kerajaan itu merupakan sebuah pusat ilmu dan ajaran Buddha. Kedatuan adalah tempat orang-orang belajar Buddha.

Contoh aksara Pallawa (Dokpri)
Contoh aksara Pallawa (Dokpri)

Kronologis

Ada empat prasasti Sriwijaya yang kami tinjau secara kronologis, artinya mulai dari prasasti tertua. Prasasti Kedukan Bukit menjadi tujuan pertama. Prasasti ini berbahan batu berbentuk bulat tidak beraturan berukuran panjang 42 cm dan lebar 32 cm. Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuna.

Ada penyebutan angka tahun pada prasasti ini, yakni 604. Waktu itu digunakan kalender Saka, jadi disebut 604 Saka. Untuk mendapatkan Tahun Masehi, kita tambahkan saja 78 tahun, jadi 682 Masehi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun