Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sentra Gerabah di Dusun Nglipoh Dekat Candi Borobudur

15 Juli 2021   12:18 Diperbarui: 15 Juli 2021   12:41 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barang-barang gerabah dari Dusun Nglipoh (Dokpri)

Di dekat Candi Borobudur ada sebuah dusun yang menjadi sentra kerajinan gerabah. Namanya Dusun Klipoh tapi sering disebut Nglipoh. Dusun itu berada di Desa Karanganyar. Hampir semua warga di Dusun Nglipoh terampil membuat kerajinan gerabah. Mereka membuat berbagai bentuk dan ukuran gerabah, dari kecil hingga besar.

Tentu sangat pantas bila dusun Nglipoh menjadi alternatif kunjungan wisata setelah ke Candi Borobudur. Apalagi membuat gerabah merupakan keterampilan turun-temurun yang sezaman dengan pembangunan Candi Borobudur. Bentuk dan cara pembuatan gerabah tergambar pada beberapa relief atau batu berukir.

Membuat wadah dengan roda putar (Dokpri)
Membuat wadah dengan roda putar (Dokpri)

Roda putar

Akhir Juni 2021 sejumlah Kompasianer dan peserta Sound of Borobudur sempat berkunjung ke daerah itu. Terlihat sejumlah warga sedang asyik mengolah tanah lembek dengan roda putar. Adonan tanah pertama kali diletakkan dalam roda putar. Kemudian tangan yang satu memutar tatakan, sementara tangan satunya membentuk adonan tanah yang lembek itu. Agar lebih mudah terbentuk, pada adonan tanah ditetesi air sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian terbentuk sebuah wadah kecil.

Setelah itu wadah-wadah kecil tersebut dijemur di pekarangan. Adanya panas matahari sangat membantu proses pengeringan. Masalah akan terjadi kalau mendung atau hujan. "Lama keringnya," kata Pak Supoyo yang memandu kami.

Biasanya wadah-wadah yang sudah kering diletakkan secara berderet. Lalu di atas wadah diberi jerami. Jerami-jerami itu lantas dibakar sambil ditambahi jerami dan dikipas-kipas. Umumnya kaum wanita yang membuat gerabah. Kaum prianya bertugas membakar gerabah.

Pada kesempatan itu sejumlah Kompasianer ikut mencoba membuat gerabah. Sebagai pemula tentu saja ada kesulitan. Akibatnya bentuk yang mereka buat tergolong kurang sempurna. Ada yang meletot ke kiri, ada yang meletot ke kanan. Tapi itulah pengalaman berharga membuat gerabah.

Soal roda putar memang memiliki beragam model. Saya pernah belajar di Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta, memutar roda dengan kaki. Jadi dua tangan di atas leluasa bergerak.

Wadah-wadah yang sudah jadi dalam proses penjemuran (Dokpri)
Wadah-wadah yang sudah jadi dalam proses penjemuran (Dokpri)

Terangkat

Menurut Pak Supoyo, geliat gerabah semakin terangkat seiring bermunculan upaya kuliner bernuansa jadul. Jadi benda-benda seperti tungku, wadah, piring, dan cobek banyak diproduksi di sana. Di masa pandemi, barang yang banyak diproduksi berupa pot. Maklum banyak warga mulai mengembangkan hobi baru, yakni bertanam.

Soal mendapatkan tanah liat atau tanah lempung sebagai bahan dasar gerabah, sesekali Pak Supoyo mendapatkan kesulitan. Untuk membuat wadah tertentu, misalnya, tanah liat harus didatangkan dari Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun