Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pakaian Rajo Minangkabau Terbuat dari Benang Emas

25 September 2020   19:14 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:08 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakaian Rajo Minangkabau yang terbuat dari benang emas (unsplash/anggri yulio)

Masakan Padang seperti rendang dan telor balado sudah dikenal ke mana-mana. Orang Padang atau populer disebut urang awak ada di mana-mana. Tapi masih banyak kebudayaan yang belum kita kenal. Padahal Museum Adityawarman di Kota Padang, banyak menyimpan koleksi sejarah dan kebudayaan masyarakat Sumatera Barat pada umumnya.

Untuk itulah pada Jumat, 25 September 2020,  Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat yang merupakan pemilik Museum Adityawarman, mengadakan kegiatan daring berupa hasil kajian tiga pakar terhadap koleksi museum. Topiknya "Khazanah Pengetahuan Di Balik Eksotik Koleksi Museum".

Pakaian Rajo Minangkabau (Foto: Buku Petunjuk Museum Adityawarman, 2012)
Pakaian Rajo Minangkabau (Foto: Buku Petunjuk Museum Adityawarman, 2012)
Tampil tiga narasumber, yakni Prof. Dr. Puti Reno Raudha Thaib (Budayawan/Koleksi Pakaian Rajo Minangkabau), Dr. Wanofri Samry, M.Hum (Sejarah Unand/Batu Tulis), dan Dr. Erniwati, M.Hum (Sejarah UNP/Cangklong). Bertindak sebagai moderator Pak Viveri Yudi atau Mak Kari. Kegiatan dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat Ibu Gemala Ranti. Acara didahului penampilan Atraksi Budaya dari Sanggar Alang Babega dan virtual tour koleksi Museum Adityawarman.

Baca juga : Tradisi Merantau dalam Kebudayaan Minangkabau

Museum Adityawarman (Foto: Buku Petunjuk Museum Adityawarman)
Museum Adityawarman (Foto: Buku Petunjuk Museum Adityawarman)
Pakaian Rajo

Bundo Reno membahas pakaian yang dikenakan oleh pembesar atau pejabat pada masa Kerajaan Pagarruyung. Dalam kerajaan ada kepala pemerintahan umum disebut Rajo Alam berkedudukan di Istana Pagarruyung, Rajo Adat di Buo, dan Ibadat di Sumbu Kudus. 

Kerajaan Pagarruyung memiliki beberapa kerajaan kecil. Ternyata setiap raja yang berdaulat memiliki pakaian kebesaran yang terdiri atas tutup kepala (saluak) terbuat dari emas, baju berwarna hitam atau ungu dengan hiasan renda benang emas, dan celana dengan warna yang senada.

Di daerah Minangkabau, ada beberapa kelompok masyarakat. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang penghulu yang diberi gelar kehormatan Datuak. Sesudah penobatan mereka diberi hak mengenakan pakaian adat. Pakaian kebesaran Penghulu baju hitam dan sarawa gadang dan beberapa atribut lain.

Motif naga, sebagaimana Bundo Reno ungkapkan, ada pada pakaian. Sayang, pertanyaan soal adanya naga ini belum sempat terjawab. Kita maklumi karena banyak pertanyaan, sementara waktu kegiatan amat terbatas.

Atas: sabak dan bawah: alat tulis kalam (Foto: Makalah Pak Mannofri)
Atas: sabak dan bawah: alat tulis kalam (Foto: Makalah Pak Mannofri)
Sabak

Generasi sekarang pasti tidak mengalami masa-masa sekolah dengan membawa sabak atau batu tulis. Sabak berupa papan tulis kecil berukuran sekitar 21 cm x 15 cm. Dulu sabak digunakan oleh  murid-murid Sekolah Rakyat untuk menulis, menghitung, menggambar, dan sebagainya. 

Pada masa berikutnya nama Sekolah Rakyat berganti Sekolah Dasar. Karena tidak ada catatan, tentu saja murid-murid zaman dulu memiliki kelebihan mengingat atau memahami apa yang disampaikan guru.

Baca juga : Mengenal Tradisi Makan Bajamba Masyarakat Minangkabau

Museum Adityawarman juga memiliki koleksi Kalam, alat tulis yang pernah digunakan oleh para murid zaman dulu. Secara historis alat tulis ini sudah digunakan sejak zaman kuno,  seperti yang terdapat pada tulisan situs-situs Mesir kuno. 

Mereka menggunakan kalam untuk menulis pada papyrus. Kalam biasanya terbuat dari sepotong buluh yang sudah dipotong memanjang menyerupai pena dengan ujung yang runcing. Kalam bisa juga dibuat dari Pakis Gunung, yang di Minangkabau disebut Batang Kalam. Begitu uraian Pak Wanofri.

Cangklong koleksi Museum Adityawarman (Foto: Makalah Ibu Erniwati)
Cangklong koleksi Museum Adityawarman (Foto: Makalah Ibu Erniwati)
Cangklong

Cangklong atau pipa tembakau berkembang seiring tanaman tembakau menjadi komoditas penting di Sumatera Barat. Ketika itu terjadi peningkatan permintaan ekspor, di samping permintaan tanaman pala, gambir, getah, dan kulit manis. Untuk menambah jumlah ekspor, pemerintah pun memberikan kuasa kepada perkebunan swasta.

Di saat yang sama tembakau menjadi konsumsi baru oleh masyarakat pribumi. Masyarakat pun menghisap tembakau dengan berbagai cara, ada yang mengeringkan lembaran-lembaran daun tembakau yang kemudian melintingnya, ada juga yang menggunakan alat hisap yang dikenal dengan pipa tembakau atau cangklong.

Menurut Ibu Erniwati, budaya menghisap rokok memakai alat hisap/cangklong dipengaruhi oleh orang-orang Eropa. Orang-orang Eropa memperkenalkan alat hisap ini kepada raja-raja dan perangkat kerajaan sebagai hadiah. 

Baca juga : Tari Piring sebagai Identitas Budaya Minangkabau

"Alat hisap ini juga menentukan derajat dan kelas sosial seseorang. Alat hisap dari tembaga menunjukkan kelas sosial yang tinggi, sedangkan alat hisap dari bambu menunjukkan kalangan rakyat biasa," kata Ibu Erniwati.

Banyak tanya jawab dalam kegiatan itu. Semoga menjadi masukan berharga buat Museum Adityawarman.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun