Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perploncoan pada Masa Kolonial, Junior Menjadi Kurir Para Senior

19 September 2020   17:17 Diperbarui: 20 September 2020   21:33 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa STOVIA 1902 (Foto: muskitnas.net)

Selanjutnya ada aturan, mahasiswa baru harus naik kendaraan umum. Dari jalan raya kami harus memakai payung hitam ke area kampus. Terpaksa beli payung hitam. Mahasiswa baru yang berkumis, harus memotong separuh kumisnya.

Baru kira-kira separuh jalan, OSPEK dihentikan oleh dekan karena dianggap tidak mendidik. Mahasiswa baru senang bukan main, sebaliknya panitia OSPEK sempat meradang.

Tahun-tahun berikutnya saya lihat mahasiswa baru harus menggunakan dasi dari pete. Tak terbayang baunya meskipun enak dimakan buat yang doyan. Entah di kampus mana, ketika itu ada mahasiswa baru yang harus membawa pisang sepanjang 15 cm. Bahkan harus membawa sebungkus coklat untuk kakak senior. Tentu repot mencari pisang demikian.

Jelas tidak ada unsur pendidikan. Malah cenderung 'ngerjain' mahasiswa baru. Ada juga unsur 'balas dendam'.

Entah sudah beberapa kali ganti nama perploncoan. Terakhir saya dengar namanya Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).

Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Foto: bobo.grid.id)
Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Foto: bobo.grid.id)
Tradisi kolonial

Tradisi perploncoan dikenal di Tanah Air sejak masa kolonial. Hal itu saya ketahui dari buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2014). 

Salah satu perploncoan berlangsung di Sekolah Kedokteran Bumiputera STOVIA pada 1902. Saat ini Gedung STOVIA dikenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional, terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26, persis di sebelah RSPAD Gatot Subroto.

Menurut seorang dokter Hindia, Jacob Samallo, para murid baru harus memanggil seniornya dengan sebutan "Tuan".

Mereka disuruh untuk mengelap sepatu, mengatur dipan, mengisi lampu, dan terkadang menjadi kurir dari para senior.

Beberapa rekan senior meminta para yunior untuk membayarkan makanan yang sudah mereka pesan. Selain itu para siswa baru diperlakukan seperti militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun