Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencari Pusat Peradaban Kerajaan Sriwijaya di Lahan Basah

18 September 2020   16:09 Diperbarui: 18 September 2020   16:14 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temuan tembikar dari situs Purwoagung (Foto diambil dari makalah Pak Nurhadi)

Jangan pedulikan omongan orang kalau Kerajaan Sriwijaya itu fiktif. Selama ini yang dipandang bukti tertua Kerajaan Sriwijaya adalah Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 683 Masehi.

Ternyata sebelum kerajaan itu berdiri, wilayah Sumatera bagian Selatan sudah ramai. Situs Purwoagung merupakan 'situs kunci' untuk memahami masa-masa sebelum Sriwijaya.

Situs Purwoagung berada di Karang Agung Tengah. Dari temuan-temuan tembikar ditafsirkan, situs itu merupakan hunian. Ada tembikar kasar mengandung pyrite (lokal) dan ada tembikar halus kaya akan quartz dari luar Karang Agung Tengah. Masyarakat juga sudah mengenal penguburan.

Perdagangan dengan dunia luar rupanya belum dikenal. Tidak ada temuan arkeologi berupa keramik asing. Begitu juga stoneware asing. Manik-manik dan tembikar mendominasi himpunan artefak dari Purwoagung.

Begitulah kisah dari Pak Nurhadi Rangkuti dalam webinar "Permukiman di Lahan Basah dan Prospek Penelitiannya", yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan pada Jumat, 18 September 2020. Kegiatan dibuka oleh Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Pak Budi Wiyana dengan pemantik Pak Tri Marhaeni.  

Temuan bagian tubuh manusia (Foto diambil dari makalah Pak Nurhadi)
Temuan bagian tubuh manusia (Foto diambil dari makalah Pak Nurhadi)
Lahan basah

Pada dasarnya Pulau Sumatera terbagi atas dua wilayah. Wilayah perbukitan dan pegunungan berada di barat. Di timur Pegunungan Bukit Barisan berupa dataran rendah. Di sepanjang pantai timur terbentuk dataran rawa pasang surut yang aliran sungai-sungainya  dipengaruhi oleh fluktuasi pasang-surut permukaan air laut. Pengaruh ini dirasakan sampai jauh ke pedalaman, antara lain di kota Palembang dan Jambi yang puluhan kilometer lokasinya dari laut. Inilah yang disebut lahan basah.

Lahan basah di Pulau Sumatera sebagian besar terdiri dari perairan rawa air tawar, gambut, dan hutan mangrove (bakau). Persebaran lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daerah pantai timur, sebagian kecil di pantai barat.

Pada awalnya penelitian arkeologi di daerah lahan basah Sumatera Bagian Selatan bertujuan untuk mencari lokasi pusat-pusat peradaban zaman Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan masa sebelumnya. Hasil penelitian arkeologi yang mutakhir menunjukkan bahwa pada daerah rawa-rawa yang dulunya adalah laut, ditemukan situs-situs "pra-Sriwijaya" atau "proto-Sriwijaya" dari abad ke-4--5 Masehi, masa Sriwijaya di Sumatera (abad ke-7--13 Masehi) sampai masa pasca Sriwijaya. Sejumlah situs masa Sriwijaya ditafsirkan pula sebagai situs-situs Kerajaan Melayu Kuna, terutama situs-situs yang terdapat di wilayah Jambi, oleh karena Sriwijaya dan Melayu Kuno memiliki kurun waktu yang hampir bersamaan. Demikian Pak Nurhadi.

Menurut pemaparan Pak Junus Satrio, terdapat beberapa desa sepanjang Sungai Batang Hari yang menempati tanggul-tanggul alam di kanan dan kiri sungai. Bagian belakang dari desa umumnya berupa rawa air tawar yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Rumah-rumah di lahan basah berupa rumah panggung.

Di sepanjang aliran itu terdapat kawasan rawa gambut yang termasuk wilayah pemerintahan tradisional. Di antara belasan wilayah, ada beberapa yang diketahui berupa situs purbakala.

Selain lahan kering, manusia ternyata juga mengekploitasi lahan basah sebagai tempat tinggal. Situs Cengal di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah salah satu contoh. Demikian Pak Junus.

"Dari situs ini ditemukan banyak tinggalan arkeologi berusia tua, setidaknya sejak abad ke-9 hingga ke-12. Penghuni situs ini mampu beradaptasi dengan lingkungan air dan membangun permukiman dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia selama berabad-abad. Lingkungan hutan air tawar yang mengelilinginya kini berubah menjadi lahan terbuka karena dimanfaatkan untuk lahan perkebunan," kata Pak Junus.

Dua tipe hunian penduduk (Foto diambil dari makalah Pak Junus)
Dua tipe hunian penduduk (Foto diambil dari makalah Pak Junus)
Pemda

Seorang peserta webinar menyarankan Balai Arkeologi Sumatera Selatan menyampaikan hasil-hasil penelitian ke pemda masing-masing sehingga bisa ditetapkan sebagai zona kearifan lokal dan lindung spiritual. Penelitian lahan basah memang baru terbatas pada dua provinsi, yakni Sumatera Selatan dan Jambi. Biasanya pemda kesulitan dalam menetapkan zona tersebut karena tidak memiliki dasar-dasar justifikasi atau hasil penelitian yang tervalidasi.

Pemkab Musi Banyuasin memang sudah menanggapi hasil temuan di daerah Situs Karangagung dan Purwoagung. Bahkan wakil bupati sudah ke lokasi. Namun, pengembangan daerah tersebut terkendala akses.

Penelitian gotong royong dengan melibatkan pemprov/pemkab/pemkot memang diperlukan. Semoga segera terlaksana.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun