Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Mumi di Papua Meneruskan Tradisi Prasejarah

30 Juli 2020   15:24 Diperbarui: 30 Juli 2020   15:28 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mumi Suku Hubula, Wamena (Foto: Balai Arkeologi Papua)

Berbicara Papua mungkin bayangan kita adalah keterbelakangan penduduk yang masih hidup secara primitif. Mereka berpakaian amat sederhana dengan bertelanjang dada. Hidup masih di atas pohon atau gua.

Namun sesungguhnya banyak hal belum kita ketahui. Banyak tinggalan budaya yang luar biasa terdapat di bumi Papua. Itulah yang dibicarakan pada acara webinar pada Kamis, 30 Juli 2020. Acara itu diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Papua bekerja sama dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Sulawesi, Maluku, dan Papua. Tampil sebagai pembicara Erlin Djami (Balai Arkeologi Papua), Prof. I Wayan Rai S. (Rektor ISBI Tanah Papua), dan Dr. Hanro Y. Lekitoo (Antropolog Uncen). Sebagai moderator Yanirsa Sendana. Topik webinar adalah Budaya Papua dalam Kajian Arkeologi, Seni, Adat, dan Tradisi.

Perhiasan hasil temuan arkeologi di Papua (Foto: Balai Arkeologi Papua)
Perhiasan hasil temuan arkeologi di Papua (Foto: Balai Arkeologi Papua)
Artefak

Menurut Ibu Erlin, tinggalan-tinggalan budaya di Papua merupakan aktualisasi pengetahuan dan perilaku nenek moyang masyarakat Papua. Secara umum budaya-budaya itu dibentuk oleh dua kelompok manusia yang telah bermigrasi ke wilayah Papua ribuan tahun lalu, yaitu kelompok Australomelanesid dan penutur Austronesia. Masing-masing menonjolkan karakter budayanya. Bahkan muncul budaya-budaya baru sebagai hasil karya bersama. Manusia Papua, kata Ibu Erlin, adalah manusia yang "terbuka". Mereka siap menerima perubahan dengan tetap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas budayanya.

Nah, tradisi di Papua itu unik karena tetap meneruskan tradisi prasejarah. Artefak-artefak yang berasal dari masa lampau, masih bisa disaksikan pada masyarakat Papua sekarang ini. Kapak batu dan manik-manik, misalnya, dipakai sebagai mas kawin. Pemanfaatan alat-alat tulang, cangkang kerang, sisir, dan gelang juga tidak berubah dari masa lampaunya.

Budaya megalitik juga dikenal di Papua. Mega berarti batu, sementara litik berati batu. Jadi megalitik bermakna batu besar. Sebenarnya, kata ibu Erlin, tanah liat di Papua berkualitas bagus. Namun sayang pengrajin tembikar tidak terdapat di sana. Papua sendiri terbagi dua, yakni wilayah pesisir dan wilayah pegunungan.

Tradisi mumi masih dikenal. Dulu pada zaman prasejarah, mayat diletakkan terlipat di sebuah wadah. Saat ini pun mumi ditemukan dalam keadaan terlipat.

Tifa dan ragam ukurannya (kiri); relief tifa di dinding pura (kanan)/Dok. Pak Wayan
Tifa dan ragam ukurannya (kiri); relief tifa di dinding pura (kanan)/Dok. Pak Wayan
Tifa

Pak Wayan bercerita tentang tifa. Tifa adalah alat musik khas Papua. Bentuk tifa seperti jam pasir memang mengandung filsafat, yakni masa anak-anak, masa remaja, dan masa dewasa. Pada tifa ada pegangan karena bermain tifa dilakukan secara berkeliling sambil menari dan menyanyi. Menari dan menyanyi merupakan simbol kehidupan bagi orang Papua.

Bagian-bagian dari tifa ada yang terbuat dari kulit buaya. Maknanya sebagai simbol nenek moyang karena buaya sangat dihormati masyarakat. Soal ukuran tifa, kata Pak Wayan, tergantung pemakai. Ada yang besar, ada yang kecil atau lebih kecil.

Di Papua ada sebuah pura yang mengambil cerita Tantri. Cerita itu menggambarkan pertarungan antara singa dan kerbau atas olok-olok anjing. Di antara relief, diselipkan tifa, padahal keberadaan tifa di luar pakem Tantri.

Menurut Pak Hanro, pada zaman Mesolitikum di Papua terdapat alat-alat serpih dari pecahan batu yang digunakan untuk pekerjaan yang halus, seperti penggaruk, mata panah, dan tombak. Alat-alat itu ditemukan di Arguni (Teluk Berau). Alat serpih, kata Pak Hanro, masih dikembangkan di pegunungan sampai abad ke-20. Di Teluk Berau juga terdapat lukisan-lukisan dinding gua berwarna merah berupa cap tangan dan kaki.

Pada zaman Neolitikum-Megalitikum ditemukan kapak lonjong dan persegi, pecahan tembikar, bangunan batu, dan menhir kecil. Tinggalan-tinggalan arkeologis itu ditemukan di Teluk Berau, Manokwari, Jayapura, Sorong, dan Doyo. Berikutnya pada zaman Perunggu ditemukan kapak corong, kapak upacara, dan nekara perunggu.

Papua sangat luas. Dari segi geografisnya sangat sulit dicapai. Semoga ada infrastruktur yang memadai sehingga frekuensi penelitian arkeologi dan budaya di sana bisa meningkat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun