Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ditemukan Jalan Kuno Berbentuk Melingkar dan Spiral di Kawasan Gunung Penanggungan

9 Juli 2020   17:22 Diperbarui: 9 Juli 2020   21:13 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa batu bergambar ini telah hilang digondol maling (Dok. Lutfi)

Kerawanan lain berasal dari kebakaran. Apalagi kalau musim kemarau. Kebakaran besar pernah melanda Gunung Penanggungan sekitar lima tahun lalu. Namun di balik kebakaran ada 'hikmah'. Tanpa disengaja ditemukan jalan kuno berbentuk melingkar dan spiral. Jalan ini sampai ke bagian puncak.

Masalah lain adalah upaya untuk membuat jalan offroad buat kepariwisataan. Maka, kata Pak Said, untuk menangani kawasan Gunung Penanggungan, butuh pembicaraan terpadu dengan berbagai kalangan, yakni Perhutani, ESDM, Pariwisata, Kemdikbud, Univeristas Surabaya, dan komunitas.

Kegiatan penambangan mengkhawatirkan longsor pada bagian atas (Dok. Amien)
Kegiatan penambangan mengkhawatirkan longsor pada bagian atas (Dok. Amien)

Rentang longsor

Menurut Pak Lutfi, membandingkan dengan foto-foto lama, terlihat ada beberapa kepurbakalaan yang rusak, bahkan telah hilang. Masalahnya memang kawasan itu terlalu luas, jadi sulit pengawasan. Di pihak lain, berbagai kepurbakalaan ada di tanah warga.

Untuk mengamankan kepurbakalaan, tentu saja kawasan Penanggungan perlu dibuat zonasi, yakni zona inti, zona penunjang, zona pengembangan, dan zona penyangga.

Pak Amien melihat dari segi geologi lingkungan. Katanya, penambangan di bagian bawah akan menyebabkan bagian atas rentan longsor. Untuk itu harus ada batas tambang, seberapa jauh yang dibolehkan.

Jumlah air hujan yang meresap sangat tergantung kawasan resapan. Sebenarnya keberadaan hutan mampu meresapkan air hujan sekitar 80%. Namun dengan gundulnya hutan, air yang meresap cuma tinggal 20%. Akibat sumber air sedikit, maka sumur-sumur warga di bagian bawah menjadi kering. Termasuk air dari Candi Belahan yang disebut Sumber Tetek. Pada musim kemarau, air dari sini banyak dimanfaatkan penduduk yang kekeringan. Namun kini debit air dari sana semakin berkurang.

Menurut Mas Deni dari Komunitas Jelajah Situs Pawitra, masalah perilaku masyarakat harus dibenahi. Mereka sering kali berswafoto dengan naik-naik ke atas candi, bahkan altar. Sepengetahuan Mas Deni, ada juga penggalian liar dan pencurian di sana. "Dulu ada relief di Candi Wayang, tapi sekarang sudah hilang," katanya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun