Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Penerbit Buku Idealis Mati, Kapan Kita Bisa Cerdas dan Pintar?

24 Agustus 2019   09:12 Diperbarui: 25 Agustus 2019   09:25 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku-buku terbitan Pradnja Paramita (Dokpri)

Membahas soal buku, maka tidak lepas dari peran penerbit. Penerbit merupakan lembaga yang memproduksi buku sehingga bisa dinikmati pembaca. Bisa dibilang kecerdasan suatu bangsa ditentukan oleh penerbit-penerbit yang ada di dalamnya.

Kemajuan suatu negara salah satunya dinilai dari masyarakatnya yang pandai dan cerdas. Ironis, di era digital seperti sekarang, buku dalam bentuk fisik semakin dijauhi. Rata-rata generasi sekarang lebih menyukai e-book, PDF, atau bentuk soft file.

Meskipun begitu, buku cetak masih cukup diminati. Terbukti banyak pedagang buku baru dan buku lama atau bekas, memiliki akun di media sosial. Perkembangan zaman dan teknologi memang membuat banyak perubahan. Yang paling kentara, banyak penerbit tinggal nama. Ada beberapa sebab yang membuat mereka mati. 

Pertama, karena mereka bersifat idealisme untuk mencerdaskan bangsa. Kedua, karena munculnya sejumlah penerbit besar, tentunya juga dengan modal besar. Ketiga, karena kemajuan dunia digital yang serba cepat dan praktis.

Buku-buku Penerbit Djambatan (Dokpri)
Buku-buku Penerbit Djambatan (Dokpri)
Masa penjajahan

Dunia penerbitan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan. Kalau melihat buku tertua, mungkin dimulai pada abad ke-17. Yang pertama diterbitkan pamflet, majalah, dan koran. 

Pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit milik orang Tionghoa dan Indo-Eropa. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar dan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang dengan kemunculan Komisi Bacaan Rakyat. Pada 1917 komisi itu berganti nama menjadi Balai Poestaka.

Lewat Balai Pustaka---ejaan yang dipakai kemudian--kesusastraan Indonesia berkembang pesat. Hingga saat ini banyak karya sastra tetap dicetak ulang, bahkan ada yang difilmkan. Bukan hanya karya sastra, Balai Pustaka juga mencetak buku-buku pelajaran dan buku-buku referensi.

Penerbit swasta pun mulai bermunculan. Sebelum Balai Pustaka, di Kediri muncul Boekhandel Tan Khoen Swie. Kemudian diikuti beberapa penerbit lain. 

Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda. Pada 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.

Pada era Orde Baru penerbitan buku diawasi oleh pemerintah. Menurut sepengetahuan saya, ada beberapa buku dilarang beredar pada masa ini, misalnya karya Pramoedya Ananta Toer. 

Setelah memasuki era Reformasi 1999, pintu kebebasan mulai dibuka. Namun, banyak beredar buku yang analisisnya di luar nalar. Di pihak lain, ada segelintir masyarakat yang sok berkuasa dengan melarang diskusi buku atau penjualan buku yang dianggap tidak sesuai dengan suara kelompoknya. Menyedihkan. 

Bon pembelian 1983 (Dokpri)
Bon pembelian 1983 (Dokpri)
Tidak merata

Boleh dibilang dunia penerbitan tidak merata. Umumnya berdomisili di Jawa. Sayang, penerbit idealis dikalahkan oleh penerbit komersial. Akibatnya beberapa penerbit tinggal nama. Nama yang kini sudah tiada adalah Penerbit Djambatan. 

Penerbit ini berdiri 19 Februari 1954 oleh Djamaluddin Adinegoro, Kasuma Sutan Pamuntjak, Intojo, Soetomo Wongsotjitro, dan Ahmad Ramali St. Lembang Alam dari pihak Indonesia, serta H.M. van Randwijk dan C. de Koning dari pihak Belanda yang berpihak pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Setelah sahamnya dibeli secara penuh pada 1956, Penerbit Djambatan resmi menjadi perusahaan milik nasional. Penerbit Djambatan menerbitkan banyak buku humaniora. 

Pada 1983 saya membeli beberapa buku Penerbit Djambatan, seperti Tatabahasa Sanskerta Ringkas dan Kalangwan. Bon pembelian masih ada. Waktu itu saya membeli ketika ada pasar buku murah di Kampus FSUI Rawamangun. Jadi ada diskon 20 persen. Sayang, Penerbit Djambatan tutup pada 1 Januari 2013, setelah 59 tahun beroperasi mencerdaskan bangsa.

Saya juga kehilangan Penerbit Indira. Dulu, Indira sering menerbitkan kisah Tintin karya penulis Belgia. Kalau tidak salah, penerbit ini berkantor di daerah Menteng. Menurut informasi yang saya dapatkan, Indira berhenti beroperasi pada 2006.

Buku-buku Bhratara (Dokpri)
Buku-buku Bhratara (Dokpri)
Pradnya Paramita

Penerbit Negara Pradnya Paramita juga tinggal nama. Pada 1970-an saya masih memakai buku pelajaran terbitan Pradnya Paramita. Penerbit ini terutama menerbitkan buku-buku sekolah. Entah sejak kapan, kemudian Pradnya Paramita dilebur ke dalam PT Balai Pustaka (Persero).

Bhratara Karya Aksara sepertinya juga tinggal nama. Pada 1970-an saya sering melewati kantor sekaligus toko bukunya di Jalan Otista 3, Jakarta Timur. 

Seperti halnya Penerbit Djambatan, Bhratara Karya Aksara menerbitkan banyak buku humaniora, baik karya penulis Indonesia maupun karya terjemahan.

Banyak penerbit mati, minat menulis minim, dan minat baca rendah. Sayang memang. Kalau terus begini, kapan masyarakat kita bisa cerdas dan pintar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun