Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Impian Seorang Arkeolog: Rumah Inspirasi, Motivasi, dan Inovasi

2 Juli 2019   20:34 Diperbarui: 2 Juli 2019   20:46 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi buku arkeologi dimasukkan ke dalam plastik supaya aman dari debu, rayap, dan air hujan (Dokpri)

Melakukan gerakan literasi ternyata lumayan mahal dan menyita waktu. Sejak menjadi jurnalis pada 1980-an, tak lupa saya selalu meminta buku, terutama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu di bawah kementerian ada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, kini Direktorat Jenderal Kebudayaan. Buku-buku arkeologi, museum, sejarah, dan budaya yang saya dapat, saya kumpulkan sedikit demi sedikit.

Selain bertopik Sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya), saya juga mengumpulkan buku-buku lain, seperti numismatik, astrologi, palmistri, pariwisata, arsitektur, dan sains. Kini buku-buku tersebut tersimpan dalam beberapa rak buku.

Koleksi buku yang belum diklasifikasi (Dokpri)
Koleksi buku yang belum diklasifikasi (Dokpri)
Rayap

Tadinya saya hanya memiliki dua rak metal berukuran 80 x 30 x 180 cm. Ada juga rak jati dan rak kayu lapis. Tapi sayang buku-buku tersebut tersebar di lima tempat. Malah karena kamar tidur saya berukuran 4 x 5 m, beberapa rak saya tempatkan di sana. Sebenarnya sih agar terpusat bisa ditempatkan di dua tempat.

Rencananya ada kamar kosong berukuran 2,5 x 2 m. Di depannya ada ruangan 2,5 x 3 m. Namun kamar tersebut perlu diperbaiki di sana-sini. Bagian langit-langitnya pun sudah kurang layak. Bila hujan deras, pasti air akan tampias.

Kendala saya jelas anggaran. Maklum, saya 'pengacara' alias pengangguran banyak acara. Selama bertahun-tahun saya pernah hidup hanya dari menulis di media cetak. Tapi sejak media cetak tergerus oleh media daring, saya jarang memiliki kesempatan untuk menulis lagi. Jadi untuk membeli rak buku ataupun untuk memperbaiki rumah yang amburadul, sampai sekarang belum kesampaian.

Koleksi makalah (Dokpri)
Koleksi makalah (Dokpri)
Rezeki

Cari rezeki di era digital memang agak susah. Dikit-dikit ada sih, dapatnya recehan istilahnya. Saat ini  sejumlah buku sudah tersusun rapi. Namun buku-buku tersebut belum sempat saya klasifikasi. Padahal kalau diklasifikasi akan memudahkan pencarian.

Banyak buku masih tersimpan dalam beberapa kontener. Semoga bisa terbeli dalam waktu singkat. Oh ya, selain buku, saya pun memiliki koleksi makalah. Makalah-makalah itu ada yang sudah dibundel, ada yang belum. Ada sekitar sepuluh kontener makalah.

Koleksi lain berupa surat atau dokumen, yang saya simpan dalam belasan map berplastik yang disebut clear holder. Koleksi yang makan tempat adalah kliping. Ada sekitar 50 ordner, terdiri atas topik-topik arkeologi, sejarah, museum, pariwisata, sejarah, numismatik, dan lain-lain.

Impian saya sih sederhana. Koleksi-koleksi itu akan saya buka untuk masyarakat di rumah saya. Saya akan menamakan Perpustakaan RIMI (Rumah Inspirasi, Motivasi, dan Inovasi). Mengingat terkendala kondisi keuangan, entah kapan impian itu terujud.

Koleksi arsip dan kliping (Dokpri)
Koleksi arsip dan kliping (Dokpri)
Masyarakat

Nah, sejak bertahun-tahun lalu saya mendengar keluhan masyarakat di luar Jakarta yang kesulitan mencari buku atau literatur tentang Sepurmudaya. Terus terang, buku-buku dari instansi pemerintah bisa diperoleh secara gratis. Namun, masyarakat harus datang sendiri ke instansi terkait.

Untuk itulah saya mulai tergerak mengadakan KUBU (KUis BUku), GEMES (GEakan MEnulis Sejarah), dan GEMAR (GErakan Menulis ARkeologi). Kegiatan itu saya selenggarakan lewat Facebook. Ongkos kirim saya tanggung dengan uang pribadi. Di luar itu saya sesekali membagikan buku yang saya peroleh untuk taman-taman baca daerah.

Dua penerima buku (Dokpri)
Dua penerima buku (Dokpri)
Sebagai 'pengacara' memang terasa berat juga mengeluarkan dana untuk ongkos kirim buku, bahkan untuk ongkos taksi ketika membawa pulang buku. Yang jelas, saya tetap berjuang dalam gerakan literasi untuk mencerdaskan masyarakat. Semoga tetap dapat rezeki halal.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun