Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belasan Abad Lampau Pendidikan Kita Dihargai Mancanegara

4 Mei 2019   09:55 Diperbarui: 4 Mei 2019   10:02 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri Pak Sobirin, Pak Agus, dan Pak Waidi (Dokpri)

Bukti-bukti pendidikan awal ada di Kerajaan Sriwijaya, Situs Batujaya, dan pada masa Mataram Kuno (untuk membedakan dari Mataram Islam, pen.). Pada 1011 datang biksu dari India bernama Atisa Dipangkara Srijnana ke Suwarnnadwipa. 

Ia berguru kepada Dharmmakirtti pada 1023, kemudian Atisa kembali ke India. Ajaran Dharmmakirti merupakan ajaran keagamaan Buddha yang utama, diajarkan kembali oleh Atisa ke Tibet untuk mereformasi ajaran Buddha Mahayana di sana. Sampai sekarang ajaran tersebut masih dipelihara dengan baik di dalam pengajaran Buddha Tibet. 

Demikian diungkapkan Prof. Agus Aris Munandar dalam Seminar bertajuk "Menelisik Sejarah Pendidikan di Indonesia" di Museum Kebangkitan Nasional, Jumat, 3 Mei 2019.

Sriwijaya sebagai pusat pendidikan agama Buddha memang pernah diberitakan pengelana Tiongkok, I-tsing. Ia pernah berkata, sebelum belajar ke Nalanda di India, sebaiknya para siswa belajar terlebih dulu di Sriwijaya. Ternyata, belasan abad lampau sistem pendidikan kita begitu dihargai di mancanegara.

Dari kiri Pak Arif, Pak Yana, dan Pak Dirgantara (Dokpri)
Dari kiri Pak Arif, Pak Yana, dan Pak Dirgantara (Dokpri)

Borobudur

Pada kesempatan lain Prof. Agus memberi contoh Candi Borobudur. Candi itu berasal dari masa Mataram Kuno. Teknik sipil pembangunan candi, pemahaman ornamen relief, pendalaman Buddha Mahayana-Mantrayana, dan kehidupan wihara juga terlaksana berkat sistem pendidikan kala itu. 

Menurut Prof. Agus, kala itu mengikuti pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan diri sebagai raja, permaisuri, pejabat tinggi kerajaan, atau pejabat lainnya. Juga untuk menjadi agamawan, silpin (agamawan seni pahat), dan kawi (agamawan seni-susastra). 

Bahkan ada yang bertujuan instan seperti supaya memperoleh keinginan yang didambakan, memperoleh senjata bertuah, dan memperoleh ilmu kesaktian.

Pada masa Majapahit, kaum Brahmana masih tetap berperan. Soalnya  kebudayaan kita mengadopsi kebudayaan India yang menggunakan sistem kasta. 

Brahmana merupakan kasta tertinggi. Materi pelajaran yang diberikan antara lain soal agama, seni, susastra, ilmu kemasyarakatan, dan ilmu-ilmu eksakta, termasuk seni bangunan. Terbukti pada masa Majapahit lahir beberapa karya intelektual, seperti naskah Nagarakretagama dan kitab perundang-undangan.  

Para peserta seminar (Dokpri)
Para peserta seminar (Dokpri)

Pesantren

Sejarah pendidikan yang bernapaskan Islam dibawakan oleh Kiai Abdul Waidi. Beliau antara lain menerangkan istilah pesantren dan madrasah. Di sini para siswa diajarkan akhlak, kata beliau.

Pembicara lain Dirgantoro Wicaksono yang secara jenaka menguraikan sistem pendidikan di era milenial dan Yana Priyatna tentang pendidikan di masa kolonial. Seminar dilaksanakan dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan Prof. Agus Aris Munandar dan Kiai Abdul Waidi dengan moderator Moh. Shobirienur.  

Sesi kedua Dirgantoro Wicaksono dan Yana Priyatna dengan moderator Arif Permana Putra. Kedua sesi dilengkapi kuis oleh moderator. Peserta yang bisa menjawab memperoleh hadiah tas laptop dari Museum Kebangkitan Nasional.

Seminar diikuti sekitar 150 peserta dari kalangan komunitas, mahasiswa, pelajar, guru/dosen, dan pemerhati museum. Kegiatan seminar diawali laporan oleh Kepala Museum Kebangkitan Nasional Bapak Mardi Thesianto. Selanjutnya sambutan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan yang diwakili oleh Direktur Kesenian Bapak Restu Gunawan. 

Pak Restu mengharapkan mata pelajaran sejarah semakin diminati. Agar tidak membosankan, para guru perlu mengajar dengan inovatif. Demikian pula dengan generasi muda. 

Jangan membuang sampah di depan  monumen tapi berfoto di depan monumen agar monumen atau museum semakin dikenal masyarakat. Ini mengingat sekarang zaman ponsel pintar dan banyaknya media sosial di internet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun