Seperti biasanya menjelang 17 Agustus, Museum Perumusan Naskah Proklamasi mengadakan kegiatan napak tilas Rengasdengklok. Kali ini kegiatan tersebut diselenggarakan pada Minggu, 12 Agustus 2018 dengan menggandeng Komunitas Jelajah Budaya (KJB).
Kegiatan napak tilas dimulai di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dengan acara pertama pembekalan oleh Ketua KJB Kartum Setiawan dan narasumber Rushdy Hoesein. Sekitar 100 orang, termasuk panitia, ikut dalam kegiatan itu. Dua bis yang sudah menunggu sejak pukul 06.00, segera berangkat ke Rengasdengklok pada pukul 08.30.
Berbicara proklamasi dan Rengasdengklok, orang selalu menghubungkannya dengan rumah bersejarah. Rumah itu milik seorang petani Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong.
Buku-buku sejarah mengisahkan pada pagi hari 16 Agustus 1945, beberapa pemuda seperti Soekarni, Singgih, dan Jusuf Kunto menjemput Bung Karno dan Bung Hatta untuk membicarakan proklamasi bangsa Indonesia. Proklamasi perlu segera dikumandangkan karena pada 15 Agustus 1945, tentara Jepang sudah menyerah kepada pasukan Sekutu.
Rencana awal, mereka akan ditempatkan di markas PETA (Pembela Tanah Air) dekat situ. Namun karena tidak mencolok, jauh, dan tertutup rimbunan pohon, maka rumah Djiaw Kie Siong menjadi pilihan.
'Bung Karno dan Bung Hatta berkumpul di depan, sementara yang lain berkumpul di belakang," kata Ibu Japto, cucu Djiaw Kie Siong. Ruang depan memang ruang tamu. Sementara ruang belakang biasa tempat keluarga berkumpul.
Ruang depan rumah Djiaw masih tampak asli. Lantainya menggunakan semacam bata merah berbentuk bujur sangkar. Langit-langit memakai bilik atau gedek. Pintu dan jendela terasa berasal dari zaman dulu. Hanya kabel listrik telah mengalami perbaikan.
Semula rumah Djiaw berada di pinggir Sungai Citarum. Namun karena sering kena abrasi, rumah tersebut dipindahkan ke lokasi baru sekitar 150 meter dari lokasi lama. Menurut Ibu Japto, pemindahan dilakukan pada 1958.
Djiaw sendiri selain petani, juga pedagang. Ia memiliki sawah sekitar dua hektar. Djiaw bertani sejak 1930. Djiaw juga suka bekerja serabutan, antara lain membuat peti mati.
Djiaw yang lahir pada 1880, meninggal pada 1964. Foto Djiaw gampang dikenal karena terpampang di ruang depan di atas altar sembahyang.
Sebagai saksi sejarah, rumah sederhana itu tentu harus menjadi perhatian pemerintah. Menurut Ibu Japto, halaman depan pernah diperbaiki oleh BP7 Serang (mungkin maksudnya BPCB Serang, pen.). Jadi lantai kotak-kotak pada halaman depan disamakan dengan ruang tamu.
Ruang tidur pada bagian kiri pernah bocor. Sisa-sisa air masih tampak pada langit-langit. "Saya betulin sendiri aja, kalau nunggu pemerintah lama,' kata Ibu Japto.
Setiap menjelang hari proklamasi, rumah Djiaw banyak didatangi orang. Tadi pagi saja ada beberapa rombongan dari Jakarta dan Bogor. Beberapa pedagang makanan dan minuman memenuhi halaman rumah Djiaw. Mereka mengais rezeki dari kunjungan itu.
Pada prinsipnya rumah Djiaw buka sekitar pukul 09.00-18.00. Maklum, bagian belakang yang menyatu dengan bagian depan sudah diperbaiki, jadi digunakan sebagai tempat tinggal. Bagian belakang sudah tidak asli karena ditembok.
Perhatian pemerintah daerah ternyata masih kurang. Hanya Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi pernah membantu pembuatan gapura kecil di depan rumah. Tadi tampak ramai pernak-pernik bernuansa merah putih. 'Itu dana kami sendiri," kata Ibu Japto.
Pak Rushdy Hoesein ibarat mendongeng sejarah proklamasi dalam kumpul di Rengasdengklok tadi. Dia bercerita panjang lebar. Para generasi muda tampak serius mendengarkan.
Pak Rushdy beberapa kali bilang Jas merah atau jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Bukan jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Kata Pak Rushdy, meninggalkan berbeda makna dengan melupakan.
Seusai dari rumah bersejarah, para peserta diajak melihat lokasi Sungai Citarum tempat rumah Djiaw pernah berada. Selanjutnya ke Monumen Kebulatan Tekad, yang dulu menjadi markas PETA.