Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Liem Koen Hian Mempersilakan Baswedan Menggebuk Musuhnya dengan Harian Sin Po

3 Juni 2018   06:55 Diperbarui: 3 Juni 2018   09:36 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta diskusi publik di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Dokpri)

Kelompok Pecinta dan Pemerhati Budaya Nusantara (Kecapi Batara) bikin hajatan berupa Diskusi Publik "Peran Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme". Kegiatan itu diselenggarakan pada Sabtu (2 Juni 2018) kemarin. Tiga pembicara tampil dalam kegiatan tersebut, yakni Didi Kwartanada, Restu Gunawan, dan Christianto Wibisono.

Didi Kwartanada dan Restu Gunawan merupakan dua sejarawan. Saat ini mereka aktif di kepengurusan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Christianto Wibisono dikenal sebagai pengamat dan pemerhati ekonomi. Ia pernah berprofesi jurnalis.

Didi Kwartanada menjadi pembicara pertama. Ia menyinggung Indonesia darurat kebhinnekaan, terlihat ketika berbagai elemen saling mencurigai dan mencaci. Ia mengutip pula pernyataan penulis Arab "ketidaktahuan adalah pangkal kebencian".

Menurut Didi, pada masa kolonial (1854) pemerintah yang berkuasa menggolongkan penduduk menjadi tiga, yakni Eropa, Timur Asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi. Akibat penggolongan ini maka terjadi perbedaan atau kelas dalam masyarakat dalam berbagai kehidupan sosial.

Peran Tionghoa sendiri, kata Didi, sebenarnya cukup besar. Dalam Sumpah Pemuda 1928, misalnya, media yang berani memuat partitur lagu Indonesia Raya adalah Sin Po.

Sin Po sendiri adalah koran milik orang Tionghoa. W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, menjadi salah seorang koresponden di harian itu.

Pada 1932 Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, diikuti koran bernama Harian Sin Po. Berkat korannya, Liem mampu memengaruhi etnis Arab dengan A.R. Baswedan sebagai tokohnya.

Baswedan sendiri juga pernah bekerja di koran milik Liem. "Silakan pakai koran saya untuk menghantam musuh-musuhmu," kata Liem kepada Baswedan. Pada 1934 Baswedan mendirikan Persatuan Arab Indonesia.

Didi juga mencatat ada empat orang Tionghoa yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yakni  Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Keempat nama ini selama bertahun-tahun tercatat dalam buku-buku sejarah.

Namun hanya dalam masa Orde Baru keempat nama tadi dihilangkan. "Ini bisa dilihat di buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran dan Indonesia dalam Arus Sejarah," jelas Didi.

Dari kiri Didi Kwartanada, Christianto Wibisono, dan Restu Gunawan (Dokpri)
Dari kiri Didi Kwartanada, Christianto Wibisono, dan Restu Gunawan (Dokpri)
Penyelundup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun