Trigangga selalu bergerak ke sana ke mari. Ia ditemani sebuah kamera digital. Sebentar ia ke kiri, sebentar ke kanan. Bahkan sambil berlutut, terlentang, atau tengkurap. Rupanya ia sedang bereksperimen, melihat jelas atau tidaknya sebuah aksara kuno.
Memang sasaran yang ia tuju adalah sebuah batu berukuran lumayan besar. Batu itu memuat aksara kuno. Di mata awam batu itu disebut batu bertulis. Namun arkeolog mengenalnya sebagai prasasti.
Prasasti merupakan sumber primer untuk penyusunan sejarah kuno Indonesia. Sampai sejauh ini prasasti tertua dari masa klasik berasal dari masa abad ke-5 Masehi, sementara yang termuda dari masa abad ke-15 Masehi. Ada berbagai aksara dan bahasa yang teridentifikasi dari prasasti, antara lain Pallawa dan Melayu Kuno. Namun yang terbanyak beraksara dan berbahasa Jawa Kuno. Yang sedang dibaca Trigangga dan kawan-kawan, berupa prasasti beraksara dan berbahasa Jawa Kuno, umumnya dari masa abad ke-9 hingga ke-12.
Bertanggal mutlak
Dalam disiplin arkeologi, prasasti dianggap artefak bertanggal mutlak. Ini karena sebagian besar prasasti memuat tarikh sehingga bisa memberi pertanggalan pada temuan arkeologi lain.
Sebenarnya pembacaan terhadap prasasti dilakukan sejak zaman kolonial. Tentu saja oleh para pakar membaca prasasti yang disebut epigraf. Ilmunya sendiri disebut epigrafi. Ketika itu umumnya para epigraf berasal dari luar Nusantara, seperti Belanda, Inggris, dan Australia.
Pada masa kemudian, kalau dianggap perlu atau penting, para epigraf Indonesia melakukan pembacaan ulang. Memang kendala dalam membaca aksara kuno bila ada bagian prasasti yang aus, rusak, atau hilang. Maka pembacaan menjadi tidak lengkap. Akibatnya penafsiran pun kurang sempurna.
Trigangga adalah epigraf dari Museum Nasional. Museum terbesar di Indonesia ini memiliki banyak koleksi prasasti batu dan prasasti logam. Ada yang sudah dibaca, namun ada pula yang belum dibaca sama sekali oleh epigraf terdahulu.
Kalau aksaranya lengkap atau terlihat jelas, tentu tidak menjadi masalah. Kendala buat pembacaan adalah jika menemui aksara yang aus atau usang dan rusak. Bahkan ukuran aksara terlalu kecil dan goresan/pahatannya tipis (tidak dalam). Betapa pun sulit dilakukan, bukannya tidak ada penyelesaian.
Prasasti dengan kondisi begini seperti tampak pada foto, akan melelahkan mata jika kita memaksakan untuk membaca. Begitu juga kalau posisi prasasti menyulitkan karena berada di tempat kurang cahaya.