Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makna Simbolik Keberadaan Gendongan Bayi di Museum Nasional

25 Oktober 2017   06:29 Diperbarui: 25 Oktober 2017   07:46 2029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gendongan bayi dengan bordir pola geometris milik orang Zhung di Guangxi (Dokpri)

Setiap bayi, batita, bahkan balita pasti pernah digendong oleh ibunya, kakaknya atau kerabatnya. Supaya tidak berat atau mengganggu aktivitas si penggendong, maka sering kali digunakan alat bantu. Alat bantu itu bisa kain yang disebut cukin, atau juga bahan-bahan yang dibuat dari bahan-bahan yang mudah diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggal. Misalnya anyaman dari tanaman tertentu dan kulit kayu. Menariknya, setiap suku bangsa memiliki gendongan kayu yang unik.

Berbagai jenis gendongan bayi bisa dilihat di Museum Nasional Jakarta mulai 19 Oktober 2017 lalu. Berbagai jenis gendongan bayi dan perlengkapan lain koleksi Museum Nasional Taiwan dan Museum Nasional Indonesia bisa disaksikan hingga 29 Oktober 2017 mendatang. Pameran itu bertajuk "Fertil, Barakat, Ayom", hasil kerja sama kedua museum dengan melibatkan Studiohanafi.

Cinta mendalam

Gendongan bayi merupakan benda yang berperan sebagai ikatan penting yang mewakili cinta mendalam dan perhatian sepenuh hati dari orang tua kepada anak-anak mereka. Nilai universal ini dimulai sejak lama dan telah diterapkan di masa lalu hingga sekarang. Orang-orang yang berbeda di berbagai daerah telah mengembangkan adat kebiasaan mereka, upacara, dan budaya berdasarkan nilai tersebut. "Benda-benda buatan tangan yang amat halus secara bertahap menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya," demikian Direktur Museum Nasional Prasejarah Taiwan, Lee Yu-Fen.

Beginilah menggendong bayi di punggung (Dokpri)
Beginilah menggendong bayi di punggung (Dokpri)
Koleksi dari Taiwan merupakan bagian dari kultur etnis minoritas di Cina Barat Daya, suku asli Taiwan dan orang-orang berbahasa Austronesia. Beberapa kolekisi terbaik dari Museum Nasional Indonesia turut dipamerkan.

"Suatu hal yang tidak kalah pentingnya, pameran ini sekaligus menjadi ruang produksi pengetahuan bagi kita semua. Kita mendapatkan kesempatan untuk mengetahui lebih dalam mengenai jenis dan metode penggunaan gendongan bayi serta makna simbolik dari dekorasi pada gendongan bayi itu sendiri," kata Kepala Museum Nasional Indonesia, Siswanto.

Bordir

Pada pameran saya melihat gendongan suku Yi dilengkapi bordir bunga dan corak tanaman. Koleksi dari etnis minoritas Zhuang bercorak bordir bunga dan burung. Ada selimut bedongan berbahan brokat dengan motif geometris.

Gendongan buatan suku Dong berbahan brokat dengan bordir pola geometris. Gendongan suku Shui terbuat dari kain perca. Motifnya bunga dan burung. Ada lagi gendongan orang Miao dan orang Han.

Kiri: bening dari masyarakat Dayak Bahau dan kanan: bening aban dari masyarakat Dayak Apo Kayan (Dokpri)
Kiri: bening dari masyarakat Dayak Bahau dan kanan: bening aban dari masyarakat Dayak Apo Kayan (Dokpri)
Koleksi Museum Nasional Indonesia berupa Bening Aban dari Kalimantan Tengah. Gendongan ini digunakan oleh masyarakat Dayak Apo Kayan ketika berladang. Agar dapat leluasa berladang, mereka menggendong anaknya di punggung. Gendongan ini terbuat dari rotan dilengkapi hiasan manik-manik.

Dari Nusa Tenggara Timur ada gendongan yang disebut sarung. Melalui sarung anak tetap hangat dalam pelukan ibu. Sarung berfungsi pula untuk memudahkan ibu ketika menyusui anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun