Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Hari Purbakala 14 Juni] Arkeologi untuk Pendidikan, Kebudayaan, atau Pariwisata?

14 Juni 2017   05:54 Diperbarui: 14 Juni 2017   08:06 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Candi, peninggalan arkeologi dari periode Hindu-Buddha (Dokpri)

Guci kuno dari dalam laut di Galeri Warisan Budaya Maritim (Dokpri)
Guci kuno dari dalam laut di Galeri Warisan Budaya Maritim (Dokpri)
Bahkan, selama bertahun-tahun arkeologi ibarat 'barang mainan'. Selalu terombang-ambing antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Ini juga menghambat perkembangan arkeologi. Jadi arkeologi untuk pendidikan, kebudayaan, ataukah pariwisata, hal ini perlu dipertegas.

Setelah bertahun-tahun terpisah, seharusnya arkeologi bersatu kembali. Mengacu nama Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional, nama Arkeologi Nasional layak disandang. Arkeologi Nasional mencakup bidang penelitian dan pelestarian. Tanggung jawabnya langsung kepada presiden. Ini agar tidak terombang-ambing dengan pergantian nama kementerian.

Cabang-cabang Arkeologi Nasional harus ada di setiap provinsi. Tentu saja jumlah personelnya disesuaikan dengan banyaknya kekayaan warisan budaya di masing-masing provinsi.   

Museum Nasional juga perlu ditingkatkan statusnya. Museum Nasional dengan cabang-cabangnya di daerah, taruhlah museum provinsi, bertugas menampung hasil-hasil kegiatan arkeologi. Museum Nasional harus menjadi lokomotif bagi dunia permuseuman di Indonesia.

Detektif

Ilmu purbakala atau arkeologi pada dasarnya merupakan ilmu yang serakah dan amat diperlukan. Arkeologi mengungkap asal-usul manusia melalui benda-benda budaya yang ditemukan di berbagai situs. Arkeologi pun berbicara konteks, yakni antara benda dengan lingkungan. Jadi bukan membicarakan benda kuno sebagaimana yang dimiliki para kolektor. Benda-benda kuno tersebut kebanyakan tidak diketahui konteksnya, jadi sulit dijadikan referensi ilmu pengetahuan.

Karena mengenai asal-usul manusia, maka cakupan arkeologi sangat luas. Ini terlihat dari cabang-cabang arkeologi yang bermunculan, seperti arkeologi permukiman, arkeologi sejarah, arkeologi lingkungan, arkeologi ekonomi, arkeologi sosial, dan arkeologi maritim. Maka para arkeolog pun harus mendalami ilmu-ilmu bantunya itu, seperti biologi, kimia, fisika, dan antropologi.

Arkeologi bertujuan membuka tabir misteri kehidupan manusia. Setelah itu merekonstruksinya agar terjadi kesinambungan antara manusia masa kini dengan manusia masa lalu. Tugas arkeologi jelas seperti detektif. Mereka harus dapat memeras keterangan setuntas-tuntasnya dari benda-benda temuan. Benda-benda temuannya sendiri harus diperlakukan secara terhormat dan dipandang sangat penting karena tidak mungkin dicipta ulang. Tugas ini tentu saja harus didukung oleh kepedulian masyarakat dan juga pemerintah, terutama lewat APBN/APBD.

Pemanfaatan

Arkeologi belum dilihat secara jernih oleh berbagai kalangan. Hanya benda-bendanya yang paling diminati karena lambang status sosial atau merupakan benda investasi. Tidak dimungkiri sebuah benda kuno, terlebih yang unik dan langka, akan berharga mahal. Jangan heran kemudian timbul penggalian liar, pencurian koleksi museum, pemenggalan kepala arca, sampai penyelundupan.

Hasil kerja arkeologi pun baru terlihat dari sektor pemanfaatan. Candi Borobudur dan Candi Prambanan berhasil dibangun dari keruntuhan berkat jerih payah para arkeolog yang akhirnya dikenal sebagai objek wisata. Situs Gunung Padang berhasil terangkat karena penelitian para arkeolog sekitar 1979, meskipun di awal abad ke-19 sebenarnya telah tersibak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun