Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Hari Purbakala 14 Juni] Arkeologi untuk Pendidikan, Kebudayaan, atau Pariwisata?

14 Juni 2017   05:54 Diperbarui: 14 Juni 2017   08:06 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Candi, peninggalan arkeologi dari periode Hindu-Buddha (Dokpri)

Arkeologi dan purbakala sesungguhnya sama. Hanya kalangan arkeolog (purbakalawan) sendiri yang membuat perbedaan itu. Arkeologi berasal dari akar kata archaeos (purbakala) dan logos (ilmu), dimaknai bersifat keilmuan dengan kegiatan utama penelitian. Saat ini nama arkeologi disandang oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi, dan Jurusan Arkeologi di perguruan tinggi.

Sebaliknya, yang bersifat teknis administrasi dan pelestarian memakai nama purbakala, sebagaimana muncul pada nama Direktorat Purbakala (sekarang Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya). 

Dalam kegiatan sehari-hari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bertanggung jawab kepada Badan Penelitian dan Pengembangan, sementara Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan, keduanya masih dalam naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Oudheidkundige Dienst"

Perhatian terhadap masalah kepurbakalaan di Nusantara mulai muncul setelah kedatangan bangsa Barat. Kemungkinan Rumphius (1628-1702) merupakan orang pertama yang merintis upaya pelestarian tinggalan purbakala. Ia mengumpulkan berbagai benda prasejarah di Ambon, lalu menuliskan benda-benda yang dikoleksinya itu.

Di Batavia upaya pengumpulan koleksi juga dilakukan oleh kolektor Barat. Mereka mendirikan Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional) pada 24 April 1778. Lembaga ini merupakan pelopor di bidang penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, ekskavasi, dan pemugaran terhadap bangunan dan artefak kuno. Kegiatan Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen didukung oleh lembaga swasta yang didirikan pada 1885 oleh J.W Ijzerman, yaitu Archaeologische Vereeniging.

Baru secara formal pada 14 Juni 1913 berdiri sebuah lembaga yang disebut Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie (Dinas Purbakala). Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Purbakala. Sebagai kepala jawatan pertama diangkat N.J. Krom. Pengganti Krom adalah F.D.K. Bosch (1916-1936) dan W.F. Stutterheim (1936-1942). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) terjadi kekosongan di bidang kepurbakalaan.

Selepas Jepang, pemerintah Belanda menghidupkan kembali Oudheidkundige Dienst. H.R. van Romondt ditunjuk menjadi pemimpin sementara. Pada 1947 Oudheidkundige Dienst dikepalai oleh A.J. Bernet Kempers. Pada 1953 R. Soekmono menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin lembaga itu. Pada 1964 nama Dinas Purbakala diganti Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).

Pada 1975 terjadi perubahan struktur organisasi. LPPN dibagi menjadi dua unit, yakni Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), menangani teknis administrasi operasional atau pelestarian,  sementara yang bersifat penelitian dipegang oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Dalam perjalanannya, kedua institusi ini pun pernah beberapa kali berganti nomenklatur.   

Bersatu

Ironis, sampai saat ini segala kegiatan arkeologi selalu terhambat masalah pendanaan. Bidang kebudayaan rupanya belum menjadi prioritas dalam pembangunan. Padahal, lahan arkeologi di Nusantara ini sangat banyak, sesuai dengan periode sejarah yang amat panjang. Peninggalan arkeologi di Indonesia dibagi dalam empat masa, yakni masa Prasejarah, masa Hindu-Buddha, masa Islam, dan masa Kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun