Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arkeologi Semu Menjungkirbalikkan Pendapat Tentang Borobudur dan Gunung Padang

6 Maret 2017   06:48 Diperbarui: 7 Maret 2017   14:00 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekskavasi di situs Gunung Padang (Sumber: travel.kompas.com)

 Sampai kini perhatian masyarakat kepada masa lampau belum menunjukkan hasil  menggembirakan. Banyaknya kasus pencurian barang antik, penggalian liar, dan pembongkaran bangunan kuno, menunjukkan bahwa masyarakat belum memedulikan kehadiran warisan-warisan tersebut. Padahal, artefak-artefak masa lampau merupakan data untuk merunut perjalanan sejarah bangsa sekaligus menunjukkan bukti otentiknya kepada masyarakat masa kini dan mendatang. Yang sekarang terjadi adalah masyarakat hanya bisa membaca, mendengar, atau melihat dokumentasi foto atau dokumen tertulisnya. Jelas masyarakat telah kehilangan bukti fisik tentang masa lampau.

Fiktif

Arkeologi sebagai ilmu memang kurang mendapat perhatian. Hanya benda-bendanya gencar diburu karena dipandang bernilai seni dan komersial. Selain itu masyarakat juga lebih sering tertarik kepada hal-hal yang bersifat fiktif dan pseudosain (pseudo-science). Sejak lama banyak film berlatar arkeologi karya Hollywood selalu menjadi box office. Sebut saja film Tomb Raider yang diperankan aktris papan atas Angelina Jolie.  Film ini mengisahkan perburuan harta karun di situs Angkor Wat, Kamboja.   

Film sejenis yang sukses adalah sekuel Indiana Jones,kisah seorang arkeolog yang bertualang ke berbagai situs kuno untuk mencari harta karun di Amerika Tengah. Tokoh tersebut diperankan oleh aktor kawakan Harisson Ford.   Sutradara kondang Steven Spielberg yang membuat film sekuel Jurassic Park, juga menuai sukses.

Di Indonesia, film-film laga berlatar sejarah seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular pernah menguasai gedung-gedung bioskop pada era 1980-an dan 1990-an. Begitu pula dengan buku bertema Gajah Mada, Ken Arok, dan buku fiksi sejarah lain. Sayang, ceritanya terlalu dilebih-lebihkan sebagaimana terlihat dari dialog-dialog di antara tokoh.

Dunia fiksi pernah dihebohkan pula oleh karya Erich von Daniken (kelahiran Swiss, 1935) pada 1970-an. Beberapa bukunya seperti Kereta Perang Para Dewa, Emas Para Dewa, Mencari Dewa-Dewa Kuno, dan Mukjizat Para Dewa berhasil membius jutaan pembaca. Sebenarnya khayalan von Daniken sulit dipercaya, namun dapat dicerna akal sehat.

Dikisahkan, di dataran tinggi Nazca (Peru), terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai ”jalan raya bikinan bangsa Inca”. Namun von Daniken menganggapnya sebagai ”landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang”, apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.

Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk itu berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi, begitu tafsiran Daniken.

Pseudosain

Kisah fiksi di film dan buku bisa dikategorikan Pseudo-archaeology atau Arkeologi Semu. Penafsirannya lebih kepada imajinasi atau “wangsit” yang diterima seseorang, jadi tidak bersifat ilmiah. Di Indonesia Arkeologi Semu berkembang cukup pesat sejak beberapa sarjana asing menganggap Atlantis ada di Nusantara.

Arkeologi Semu mampu menjungkirbalikkan berbagai pendapat, misalnya tentang Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Yang paling heboh, tentang di bawah situs Gunung Padang terdapat bangunan piramida yang menyimpan beberapa ton emas. Bisikan inilah yang rupanya mendorong segelintir orang untuk melakukan ekskavasi dengan “alat-alat modern” dibantu para tentara untuk mendukung nasionalisme. Meskipun banyak mendapat tentangan, Arkeologi Semu tetap saja memiliki pendukung, termasuk dari pihak pemerintah yang mendapat bisikan.

Arkeologi Semu merupakan bagian dari pseudosain sebagaimana tergambar dari pidato ilmiah Dr. Daud Aris Tanudirdjo di FIB UGM, 3 Maret 2016 lalu. Pidatonya itu berjudul Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodernisme Hingga Pseudosain.

Mengutip pendapat Sokal (2004), Tanudirdjo mengatakan bahwa postmodernisme merupakan penolakan eksplisit terhadap rasionalitas Masa Pencerahan, melalui wacana atau diskursus teoritikal. Atau bukan pada ranah pengujian data empiris, tetapi lebih berlandaskan pada anggapan relativisme budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan sain dianggap tidak berbeda dengan narasi, mitos atau konstruksi sosial lainnya.

Akibat dari itu, "kebenaran" tergantung pada kelompok sosial, sehingga lebih dinilai secara moral atau etik daripada data empiris atau pengetahuan yang ada.  Postmodernisme juga melihat sain melegitimasi dirinya sendiri, dengan menghubungkan temuannya terhadap kekuasaan tertentu. Hubungan inilah yang sesungguhnya menentukan apakah suatu pengetahuan absah atau tidak.

Sesungguhnya istilah pseudosain banyak digunakan dengan kesan yang semakin "miring" sejak akhir abad ke-19. Meskipun demikian, batas antara sain dan pseudosain sebenarnya cukup tipis (Sokal, 2004; Raff, 2013; Hansson, 2014; Beyerstein, 1996). Dalam khasanah ilmu pengetahuan atau sain memang ada demarkasi (Hansson, 2014) yang membedakan antara bukan-sain (non-science, misalnya agama dan metafisika) dengan tidak saintifik (unscientific; tidak mengikuti atau konflik dengan kaidah ilmiah).

Istilah pseudosain pertama kali digunakan oleh sejarawan James Andrew pada 1796 untuk menyebut alkemia sebagai "pseudosain yang fantastik". Pseudosain adalah bagian kecil dari kelompok tidak ilmiah. Secara umum, pseudosain selalu memberikan kesan seolah-olah memiliki dasar-dasar penalaran yang sesuai dengan penalaran ilmu pengetahuan atau sain umumnya. Pseudosain juga cenderung menonjolkan metodologi yang canggih dan akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu. Demikian bagian lain pidato ilmiah Tanudirdjo.

Kelemahan data

Masih menurut Tanudirdjo, sesungguhnya pseudosain menyembunyikan sejumlah kelemahan, di antaranya tidak didukung data yang cukup kuat, menggunakan data dengan cara yang tidak tepat, atau data ditafsirkan sesuai dengan kerangka pikirnya. Pseudosain juga biasanya tidak mampu bersifat prediktif, pernyataan-pernyataannya sulit dikonfirmasikan, dan tidak mau mendengar pendapat yang menunjukkan kelemahannya.

Di Indonesia, pseudosain telah mempengaruhi kebijakan pemerintah, misalnya dalam kasus "blue energy” (air menjadi bahan bakar) dan situs Gunung Padang sebagai “piramida tertua” di dunia. Penelitian situs Gunung Padang bahkan bukan dilakukan oleh instansi arkeologi berwenang, sehingga tanpa rancangan penelitian yang lazim. Penelitian yang lebih menjurus ke penelitian geologi tersebut, justru lebih bernuansa politis.

Memang pseudosain telah meningkatkan popularitas situs Gunung Padang. Masyarakat berbondong-bondong ke situs tersebut karena ingin tahu “kehebatan” peradaban Atlantis. Bahkan situs Gunung Padang diberikan status cagar budaya tingkat nasional oleh pihak yang tertekan.

Situs Gunung Padang telah memberi pelajaran berharga buat kita bahwa arkeologi semu atau pseudosain lebih menarik daripada arkeologi murni (arkeologi dasar) dan arkeologi terapan.  Betapapun situs Gunung Padang dan warisan-warisan budaya lain perlu dilindungi dan dilestarikan karena semuanya menyangkut kebanggaan akan prestasi nenek moyang kita.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun