Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Uniknya Rupiah Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

23 Desember 2016   10:55 Diperbarui: 24 Desember 2016   05:30 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang Jepang nominal 1 Sen (Dokpri)

Saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hanya uang kertas Jepang yang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI. Meskipun demikian, bekas uang pemerintah Hindia Belanda, masih tetap beredar luas di kalangan masyarakat.

Uniknya, ketika itu beredar tiga jenis uang kertas Jepang sekaligus. Yang paling dikenal adalah uang kertas yang sudah dipersiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia. Uang itu menggunakan bahasa Belanda, De Japansche Regeering (1942). Emisi yang diterbitkan memiliki nominal 1 Cent, 5 Cent, 10 Cent, ½ Gulden, 1 Gulden, 5 Gulden, dan 10 Gulden.

Semua nominal dicetak oleh Djakarta Insiatsu Kodjo, yakni percetakan milik Kementerian Keuangan Jepang. Ciri utamanya adalah berkode ‘S’, misalnya SL, SN, dan S23. Ini tidak ubahnya nomor seri pada uang-uang kertas modern.

Huruf ‘S’ merupakan tanda untuk uang pendudukan Jepang di Indonesia. Pada saat bersamaan terdapat pula uang pendudukan Jepang di Semenanjung Malaya berkode ‘M’ dengan satuan dollar, di Filipina berkode ‘P’ dengan satuan pesos, di Birma (Myanmar) berkode ‘B’ dengan satuan rupee, dan di Oceania berkode ‘O’ dengan satuan shilling.

Jenis kedua menggunakan bahasa Jepang aksara Latin, Dai Nippon Teikoku Seihu, emisi 1943. Nominal yang diterbitkan adalah Rp ½, Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 100. Percetakannya masih tetap sama, yakni Djakarta Insiatsu Kodjo.

Uang Jepang Dai Nippon Teikoku Seihu (Dokpri)
Uang Jepang Dai Nippon Teikoku Seihu (Dokpri)
Emisi ini sudah dilengkapi gambar, antara lain rumah Minangkabau, wayang orang, dan patung Wisnu di atas Garuda. Uang tersebut juga menggunakan kode ‘S’.

Jenis ketiga menggunakan bahasa Indonesia, Pemerintah Dai Nippon, emisi 1944. Nominal yang diterbitkan adalah seratoes roepiah. Percetakannya juga masih tetap sama, Djakarta Insiatsu Kodjo. Sebenarnya nominal seriboe roepiah sudah selesai dicetak, namun urung beredar karena Jepang keburu kalah perang.

Pada 29 September 1945 pasukan Sekutu mendarat di Tanjung Priok, dalam rangka tugas pelucutan dan pemulangan tentara Jepang yang kalah perang. Dalam pasukan Sekutu ternyata ikut pula tentara Belanda.

Uang Jepang seri Pemerintah Dai Nippon (Dokpri)
Uang Jepang seri Pemerintah Dai Nippon (Dokpri)
Pasukan Sekutu kemudian melarang anggotanya menerima uang Jepang. Sebagai gantinya mereka mengedarkan uang NICA yang dicetak di Australia pada 1943. Uang bergambar Ratu Wilhelmina itu dikenal di Indonesia sebagai ‘uang merah’. Sisa-sisa pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia 1942-1945, memang mempersiapkan diri kembali ke Indonesia manakala Jepang dapat dikalahkan.

Pemerintah RI sendiri menyadari belum mampu untuk mengeluarkan mata uangnya sendiri. Maka melalui Maklumat Presiden 3 Oktober 1945 dinyatakan bahwa untuk sementara waktu, masih berlaku tiga jenis mata uang di seluruh wilayah RI, yaitu uang De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pendudukan Jepang.

Secara resmi emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) terbit pada 30 Oktober 1946. Sejak itu pemerintah kita mulai memiliki uang sendiri. Ditetapkan bahwa nilai tukar 1 rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang di Pulau Jawa atau 100 rupiah uang Jepang di Pulau Sumatera.

Unik

Di kalangan numismatis, mata uang pendudukan Jepang dinilai memiliki beberapa keunikan. Yang pertama, uang kertas bernominal 1 cent atau 1 sen. Mata uang ini dikatakan unik karena umumnya nilai terkecil berupa uang logam (koin). Mungkin ketika itu harga logam mahal sehingga dalam keadaan darurat digunakan lembaran kertas yang lebih murah. Meskipun demikian, koleksi tersebut bukan merupakan koleksi langka. Di pasaran, koleksi seperti itu masih mudah dijumpai, tidak terkecuali yang memiliki grade (tingkat kondisi) Unc (Uncirculated) atau bagus sekali.

Half Gulden (Dokpri)
Half Gulden (Dokpri)
Kedua adalah uang kertas bernominal ½ gulden (half gulden). Yang menjadi masalah adalah penulisan kata ‘half’. Memang ‘half’ dijumpai dalam bahasa Belanda, berarti ‘setengah’ atau ‘separuh’ (W. Van Hoeve, 1992). Namun menurut sejumlah numismatis profesional, seharusnya tulisan yang benar adalah ‘een halve’. Ini mengacu kepada beberapa uang kertas yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelumnya, antara lain seri Muntbiljet II (1920). Jadi apa yang dilakukan Jepang ini sungguh keliru.

Een halve (Dokpri)
Een halve (Dokpri)
Kini kedua mata uang tersebut telah menjadi bagian dari sejarah. Namun tidak tertutup kesempatan untuk digunakan sebagai sumber penelitian tentang sejarah perekonomian kala itu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun