Mohon tunggu...
Djohan Suryana
Djohan Suryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pensiunan pegawai swasta

Hobby : membaca, menulis, nonton bioskop dan DVD, mengisi TTS dan Sudoku. Anggota Paguyuban FEUI Angkatan 1959

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Amerika?

10 Desember 2017   10:03 Diperbarui: 10 Desember 2017   15:33 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak Donald Trump dilantik sebagai presiden Amerika Serikat yang ke 45 pada tanggal 20 Januari 2017, sejak itu pula timbul berbagai kejadian luar biasa, diluar kebiasaan pemikiran orang Amerika sendiri. Dengan slogan "Make America Great Again !", Trump dinilai sebagai presiden yang populis, proteksionis dan nasionalis yang ekstrim. Sebagian besar kebijakan presiden sebelumnya, Barack Obama, akan dikoreksi karena dianggapnya tidak membuat "America Great Again".Trump juga menganggap bahwa semua berita surat kabar tidak bisa dipercaya dan bohong besar, terutama berita mengeaai dirinya, keluarganya serta inner circle-nya. 

Amerika dikenal sebagai negara demokrasi nomor satu di dunia. Negara ini paling menjunjung tinggi kebebasan, persamaan hak dan peri kemanusiaan. Saat ini tampaknya nilai-nilai tersebut telah ternoda oleh ulah seorang presiden yang "luar biasa". Masalah rasialisme terkoyak  kembali dengan mulai timbulnya gejala diskriminasi keunggulan kulit putih terhadap golongan penduduk kulit hitam. Pengungsi dari negara-negara Islam tertentu dilarang masuk ke Amerika dengan alasan demi keamanan Amerika. Tembok sepanjang perbatasan dengan Meksiko akan dibangun untuk mencegah masuknya imigran gelap yang dianggap sebagai kriminal. 

Dan yang terakhir adalah pengakuan Amerika terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel telah memicu kemarahan dunia. Trump lebih suka membela kepentingan sebuah  negara  seluas 20.770 km2 dengan penduduk 8,3 juta orang daripada miliaran penduduk dunia lainnya. Sebuah pemikiran yang betul-betul "luar biasa" dari seorang presiden yang "luar biasa" pula. 

Sebenarnya saat ini Trump sendiri sedang mengalami masalah berat terhadap integritas serta kejujuran pribadinya. Ada indikasi bahwa Trump telah berkolusi dengan Russia dalam memenangkan dirinya dalam pemilihan presiden tanggal 18 Novenber 2016 yang lalu. Penyelidikan yang dilakukan oleh CIA dan FBI yang dipimpin oleh Robert Mueller makin mengerucut setelah ada indikasi menantu dan anak Trump terlibat dalam kasus ini. Diduga Russia telah membocorkan data yang menjatuhkan Hillary Clinton sehingga dapat memenangkan Trump. 

Apabila hal ini dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, entah bagaimana nasib Trump nanti. Mungkin dengan kecerdikan serta kelicikannya, ia bisa lolos dari jerat ini sehingga akan luput dari Impeachment.Atau sebaliknya, Trump akan mengakhiri karirnya sebelum selesai masa jabatannya.

Dan yang paling  membuat terperangah adalah hasil pengamatan harian The New York Times dan The Washington Post mengenai pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Trump yang resmi maupun melalui Twitternya.

Sebagai presiden, Trump seringkali membuat pernyataan-pernyataan palsu dalam pidato maupun komentarnya. Menurut The New York TimesTrump mengucapkan " sekurang-kurangnya satu tuntutan (claim) yang palsu atau menyesatkan per hari sebanyak 91 dari 99 hari " dan berjumlah 1.318 dalam 263 hari pertama sejak menjabat sebagai presiden menurut  "The Fact Checker", kolom analisis politik  The Washington Post. "The FactChecker" ini juga menulis "Presiden Trump adalah seorang politisi yang paling menantang yang pernah dihadapinya .... langkah serta volume pernyataan-pernyataan presiden yang keliru demikian banyaknya sehingga kami tidak bisa mengikutinya ... (Wikipedia).

Apakah Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang sangat berkuasa di dunia akan bertahan dengan seorang presiden yang "luar biasa" seperti Donald Trump ? Apakah rakyat Amerika tidak salah pilih ? Apakah Amerika akan menjadi "Great Again" dengan memiliki seorang presiden seperti Donald Trump ? Apakah Amerika yang terkenal dengan pembela demokrasi dan hak asasi manusia tidak malu memiliki Donald Trump sebagai presidennya ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun