[caption id="attachment_144145" align="alignnone" width="620" caption="MESIN PRODUKSI KAOS KAKI"][/caption] SEMUAdiawali Sanlawai (44) dari nol. Sekitar tahun 1981, dia merantau ke Jakarta usai lulus SMP dan ikut kerabat. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan, mendorong anak kedua dari lima bersaudara itu berdikari. "Pertama kali ke Jakarta, saya langsung akrab dengan kaos kaki. Membantu saudara yang bekerja memperbaiki kaos kaki afkir dari pabrik untuk dijual kembali," kata pria asli Pemalang tersebut. Itulah latar belakang yang menjadikan warga Desa Purwasaba RT 2 RW III, Kecamatan Mandiraja itu menjadi produsen kaos kaki. Tahun 1999, dia pulang ke Banjarnegara dengan tetap mengambil kaos kaki afkir dari Jakarta. "Lambat laun, akhirnya saya membeli mesin kaos kaki pertama kali dua buah. Itu berkembang hingga sekarang dan produksi terus bertambah," kata suami dari Eliningsih tersebut. Saat ini, pangsa pasar di Eks Karesidenan Banyumas sudah dikuasai. Bahkan merambah hingga Wonosobo, Temanggung, Yogyakarta dan Pemalang. Sebanyak delapan mesin dengan sembilan karyawan menunjang produksi kaos kaki sekitar 120 dozin per hari. "Sekarang ini, pesanan dari Banjarnegara saja tidak terpenuhi semua, termasuk dari Yogyakarta. Keberadaan mesin yang saya miliki juga kurang menunjang," katanya optimistis pasar masih terbuka lebar. Merek Gatuga Ayah empat anak tersebut, juga menyatakan keyakinan produksi kaos kakinya tersebar di pasaran. Jika produksi asli, Sanlawi memberi merek 'Gatuga' kependekan dari Tiga-Satu-Tiga (313). Nama tersebut, lanjutnya merupakan pemberiaan seorang teman yang kadang dia artikan dengan 'rezeki yang tak terduga'. "Nabi Muhammad saat perang dengan 313 tentara berhasil mengalahkan ribuan musuh, katanya begitu saran dari teman saya. Bisa juga saya artikan, rezeki tak terduga gatuga," katanya beralasan. Meski demikian, dia sadar produknya kurang dikenal berdasar nama (branding ) oleh masyarakat lokal. Maklum, sejumlah agen/grosir ada beberapa yang membeli 'kosongan' tanpa merek dan memberi label sendiri. Yang pasti, dia tetap bangga usahanya bisa menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan masyarakat. "Kalau hitungan ideal, saya masih butuh setidaknya 30 mesin produksi lagi. Selain itu, butuh yang lebih bagus dari sekarang, sekitar Rp 45 juta atau Rp 120 juta perbuah," katanya. Dari delapan mesin, satu di antaranya merupakan bantuan pemerintah. Saat ini, dia menghadapi kendala modal untuk menambah mesin. Mengingat, perbankan menuntut agunan lebih ketika dia hendak meminta tambahan pinjaman. "Kalau agunan, saya tidak punya kekayaan lebih. Padahal, pasar saya sudah jelas dan usaha menjanjikan. Saya berharap, perbankan memberi kemudahan," kata Sanlawi yang ngebet menambah mesin baru.(Rujito-)