Mohon tunggu...
Derlin Juanita
Derlin Juanita Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perlindungan & Kesejahteraan Anak TKI: Apakah Sering Dilupakan?

3 September 2017   05:28 Diperbarui: 3 September 2017   06:50 2150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

TKI (Tenaga Kerja Indonesia) merupakan warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam waktu tertentu dan menerima upah. Banyak sekali fokus perhatian ditujukan pada TKI yang bekerja karena tidak mendapatkan perlindungan yang sepatutnya dan belum semua mendapatkan jaminan sosial. Akan tetapi, tidak hanya nasib TKI saja yang perlu mendapatkan perhatian, namun anak-anak dari TKI tersebut juga perlu mendapatkan perhatian khusus karena merupakan pihak yang rentan (vulnerable) dan seringkali ditempatkan pada kondisi dengan kualitas hidup yang minimal.1

Berita yang disampaikan dalam beberapa surat kabar, salah satunya BBC Indonesia, 6 Maret 2017, menjadi suatu lecutan bagi kita untuk berpikir bagaimana mengatasi permasalahan pada anak-anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang belum mendapatkan hak perlindungan sepenuhnya. Lebih dari 350 anak di Desa Wanasaba dan Lenek Lauk, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, harus ditempatkan pada kondisi tanpa pengasuhan ayah, ibu, atau kedua orang tuanya. Lombok Timur dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah tenaga kerja hingga lebih dari 15 ribu pekerja informal yang dikirim ke negeri Timur Tengah, Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Sebagian besar laki-laki menjadi buruh migran, sementara perempuan menjadi perantau. 

Sebagian masyarakat memiliki status sosioekonomi yang rendah karena sulitnya memperoleh penghasilan yang layak. Sebagian besar penduduk di Desa Wanasaba dan Lenek Lauk adalah petani dan beberapa dari petani tersebut tidak mendapatkan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, beberapa penduduk juga bekerja di bidang peternakan dan industri genting-batu bata.2 Hal inilah yang mendorong tenaga kerja lokal akhirnya memutuskan untuk mencari penghasilan sebagai TKI informal. 

Miris sekali memang, keputusan yang diambil oleh para TKI menyebabkan anak-anak mereka yang berada di Indonesia harus kehilangan hak mendapatkan pengasuhan dan perlindungan dari orang tuanya. Padahal menurut UU RI Nomor 23 tahun 2012 Pasal 26 ayat 1 bagian a, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Meskipun kewajiban tersebut dapat diamanahkan pada anggota keluarga lainnya, tetap saja orang tua, terutama ibu, merupakan sosok/figur kelekatan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.3 Orang tua pengganti (kakek-nenek) seringkali tidak optimal dalam mengasuh anak karena mereka memiliki tenaga dan waktu yang terbatas. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Feri Kristianawati pada keluarga TKI di Desa Karangrowo Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, didapatkan bahwa orang tua pengganti cenderung menerapkan pola pengasuhan indulgent permissive dengan kurangnya kontrol terhadap kemauan negatif anak.4Jika melihat masalah kurangnya perlindungan dan perhatian pada anak-anak TKI, kita akan melihat terdapat berbagai kasus diskriminasi anak-anak TKI yang tidak dapat mendaftar untuk bersekolah, dikucilkan, dan tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan emosional yang cukup. Seperti yang disampaikan di Koranfakta.net dan artikel Yuhastina di Kompasiana.5,6 

Di samping itu, bekerja sebagai TKI tidak memiliki kepastian apakah pekerja akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik jika dibandingkan tetap bekerja di negeri sendiri, karena sering terdengar kabar terjadinya pemerkosaan, pelecehan, diskriminasi, ataupun perdagangan manusia terhadap TKI.7 Bahkan seorang anak perempuan berusia 11 tahun pernah dikirim ke Arab Saudi untuk menjadi asisten rumah tangga. Selama 13 tahun bekerja, ia tidak diberikan upah oleh majikannya.8

Berdasarkan UU RI Nomor 6 tahun 2012 mengenai Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, dikatakan bahwa setiap pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak kebebasan untuk meninggalkan, masuk, dan menetap di negara manapun, hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, perbudakan, dan hak-hak lainnya sebagai manusia merdeka yang memiliki hak asasi manusia.9 Akan tetapi, pada praktiknya, seringkali para TKI mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh para majikan, terutama para TKI ilegal yang nasibnya tidak menentu. 

Beberapa TKI yang membawa anaknya ke negara lain sebagai upaya pertanggungjawaban dalam mengasuh anaknya atau karena tidak ada anggota keluarga lainnya yang dapat mengasuh anaknya.  Akan tetapi, anak-anak yang dibawa ke negara lain tersebut oleh orang tuanya juga tetap mengalami kesulitan untuk bersekolah dan mendapatkan akses pemenuhan kebutuhan yang layak. CLC SD (Community Learning Center Sekolah Dasar), SIKK (Sekolah Indonesia Kota Kinabalu), dan Pusat Belajar Humana kini menjadi angin segar bagi TKI dan anak-anaknya yang berada di luar negeri. Tiga lembaga pendidikan ini memberikan pelayanan agar anak-anak TKI mendapatkan hak untuk pendidikan baik di sekolah formal maupun informal.10 

Meskipun demikian, nasib anak TKI di luar negeri ataupun anak TKI yang ditinggal orang tua di Indonesia tetap menjadi masalah yang harus mendapat perhatian dari seluruh pihak. Pasalnya, kita belum dapat menjamin bahwa anak-anak itu dapat tumbuh dan berkembang sama seperti anak-anak sebaya lainnya. Penelitian yang dilakukan Tri Nurhidayati dkk di wilayah Kabupaten Kendal menunjukkan bahwa sebanyak 40% anak-anak TKI memiliki perkembangan psikososial yang kurang baik, misalnya terhadap prestasi dan ada tidaknya teman akrab.11 

Penelitian Smith dkk dalam laporan UNDP (United Nations Development Programme) tahun 2009, dijelaskan bahwa anak-anak buruh imigran di Carribean Kanada menunjukkan adanya gangguan perilaku dan estimasi diri yang rendah. Selain itu, ikatan batin antara orang tua dan anak tidak dapat diperbaiki karena terjadi perpisahan dalam waktu lama antara orang tua dan anak. Hal ini menyebabkan trauma psikologis pada anak.12

Penelitian cross sectional yang dilakukan Kolitha Wickramage dkk, dari 820 sampel anak imigran di Sri Lanka, sebanyak 328 anak mengalami gangguan mental seperti kecemasan, gangguan somatoform, dan gangguan mental lainnya (masalah perilaku, masalah emosi, hiperaktivitas) dengan p<0,05. Dari 328 anak tersebut, lebih dari 30% anak berusia 6-59 bulan mengalami Berat Badan kurang atau gizi buruk. Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya orang tua menyebabkan anak-anak tersebut lebih rentan mengalami gangguan psikis dan fisik dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal bersama dengan orang tua.13

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun