Mohon tunggu...
Sa'id Djazuli
Sa'id Djazuli Mohon Tunggu... -

Pribadi yang masih membutuhkan dedikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Pasar

27 November 2015   02:28 Diperbarui: 14 April 2016   01:49 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketahanan ekonomi terus menjadi isu penting dan mendasar dalam kehidupan yang terus didorong oleh kebutuhan. Apalagi seiring dengan melejitnya harga barang yang memaksa seseorang harus berpacu dengan waktu demi merespon kebutuhannya. Juga, tak pelak berbagai bentuk persoalan masyarakat muncul dari rahim yang sama yaitu 'ekonomi' sebagai pemicu utama yang kerap terjadi di mana-mana, bahkan hal ini sering menyeret kepada kasus-kasus yang tidak meng-enakkan kriminal semisal, yang disebabkan oleh penghasilan yang minim, disusul oleh lapangan kerja yang semakin menyusut, biaya pendidikan mahal sampai merentet kepada persoalan isi dapur.

Potret sosial ini menarik kesimpulan dasar kuat bahwa kesenjangan ekonomi berpotensi lahirnya kesenjangan sosial. Hal ini mungkin merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja terjadi dan sering muncul di layar kaca, namun terdapat suatu hal yang mungkin pantas untuk diperhatikan, masih dalam konteks ekonomi, ada semacam "jeruji besi" melingkari dimensi sosial yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang tinggi sehingga pada era yang bebas ini muncul suatu sistem "wani piro" sebagai landasan sahih untuk mendulang beberapa keuntungan. Inilah Masyarakat Pasar yang nyaris tindak-tanduk kehidupan diupayakan dengan kegiatan transaksi, tawar-menawar, dan seterusnya sebagaimana pasar pada umumnya.

Bahkan seringkali mendengar untaian ekonomis "di dunia ini tidak ada yang gratis!", kata-kata itu menandaskan dengan sangat jelas dan ril atas kondisi di lapangan yang sesungguhnya bahwa pasar tidak hanya berada di pusat-pusat keramaian, akan tetapi pasar sudah melekat kepada individu-individu yang sebenarnya telah mengganti bangunan sosialnya menjadi individu-individu eksploitatif. Orientasi jangka panjangnya terhadap kemanusiaan terhambat oleh isi kantong belaka, kesolidan dan ke-gotong royongan nyaris jarang ditemui, lebih-lebih kehidupan di kota. Sistem wani piro memang menyentuh semua lapisan dan sektor-sektor ril kehidupan masyarakat yang secara tidak disadari terbelenggu oleh semacam jeruji besi yang mereka ciptakan sendiri seperti yang sudah disebutan.

Oleh sebab itu situasinya semakin runyam apabila dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang membutuhkan perangkat lain, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) misalnya, survei membuktikan tidak jarang terjadi eksploitasi dalam hal ini, perpindahan identitas penduduk misalnya yang harus mengganti nama desa dengan seperangkar persyaratan-persyaratan yang rumit akan menjadi lebih mudah di-acc apabila sanggup merogoh gocek yang terbilang oke, lebih-lebih dengan nominal yang tinggi. Begitu pula dalam dunia pendidikan, masuk tes di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) atau di universitas bonavid pun akan mudah diteria lewat belakang atau depan serba bisa asal ada imbalan yang sepadan.

Barangkali zona itu sudah menjadi hukum ketetapan yang nyaman disatu sisi, namun di sisi yang lain justru menghancurkan konstruksi sosial, bahkan negara, mengapa tidak? Semua diterobos dan dinetralisir oleh uang dan komoditas-komoditas lainnya dengan tetap merujuk kepada sistem wani piro tadi. Kalau suatu negara mempunyai data hitam di mata internasional dengan kasus-kasus internalnya korupsi semisal, maka diantara penyebabnya adalah penyamarataan atau konsensus atas satu parameter yang menjadi landasan umum dengan bertolak dari sistem wani piro itu sendiri. Akibatnya para penjahat kerah putih (white colour crime) terus tumbuh subur di mana-mana dengan sistem imunnya yang kebal hukum.

Entah siapa yang memulainya pertama mempraktekkan sistem itu sampai-sampai diiklankan oleh sebuah produk rokok yang sebenarnya itu bahasa jawa mengandung sarkastik dari karut-marutnya situasi negara serta sangat pas dan akurat pengambilan aktornya dalam iklan itu, tiba-tiba makhluk dari bangsa jin muncul seketika menawarkan sebuah permintaan yang sesungguhnya merepresentasikan bahwa kegiatan kongkalikong dan sejenisnya dengan melibatkan transaksi-transaksi adalah perbuatan yang muncul dari pihak ketiga yang tak lain adalah setan, jin dan sebangsanya, yang membawa ke arah menjerumuskan.

Kalau kita amati lebih intens lagi terdapat semacam gerak transformasi dalam konstruksi sosial secara peradigma berpikir yang dimulai dari 'peradigma kerja' dengan senantiasa melakukan standar kalkulasi dalam aspek-aspek kehidupan, dari sini probabilitasnya semakin nampak suatu tekanan yang tinggi akan kebutuhan yang selanjutnya akan disusul oleh pergeseran suatu pemikiran secara besar-besaran yaitu 'pemikiran pragmatis', pemikiran ini berada pada domain yang seringkali dipertanyakan oleh individu-individu masyrakat serta menjadi dasar dan parameter penting dalam upaya mencapai destinasi yang ril, secara bertahap beberapa konskwensi mulai kelihatan namun ada hal lebih bahaya terselubung dari dampak negatif lahirnya masyarakat pasar tersebut, yakni infiltrasi sistem wani piro itu terhadap suatu keyakinan 'agama' yang kita anggap selama ini sebagai pedoman hidup yang sakral serta akan menyelamatkan kita dihadapan Sang Maha Pengadil nanti, secara mendasar agama membawa nilai-nilai luhur yang mengajarkan memanusiakan manusia dengan tujuan agar tidak ugal-ugalan menjalani kehidupan, namun ironisnya pedoman suci itu telah terkontaminasi oleh beberapa motif dan kepentingan yang bersifat ekonomis yaitu sejak dijadikannya sebagai komoditas-fiskal oleh para idol karbitan yang sering muncul di layar kaca dengan kedok syiar agama serta lengkap dengan tarif-tarifnya yang cukup fantastis.

Itulah sebuah tirai kehidupan sosial yang mungkin tidak disadari oleh sebagian masyarakat atau mungkin disebabkan oleh sibuknya rutinitas yang selalu menuntut sehingga hal itu merupakan biasa-biasa terjadi dengan iya menyetujui apa yang menjadi kesepakatan bersama, bahwa identitas sebagai manusia yang bermasyarakat dengan visi-misinya mengusung kebersamaan dan kesolidan bergeser dengan sedemikian prihatin yang disebabkan oleh kepentingan-kepentingan yang terselubung, oleh karenanya dengan tidak ragu seorang tokoh aliran kontrak sosial 'Thomas Hobbes' mengatakan "homo homini lupus" (manusia adalah srigala bagi manusia lain). Lalu apakah kita juga demikian?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun