Mohon tunggu...
Sa'id Djazuli
Sa'id Djazuli Mohon Tunggu... -

Pribadi yang masih membutuhkan dedikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup di Tengah Gempuran Inovasi

11 Mei 2016   02:28 Diperbarui: 11 Mei 2016   03:02 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perkembangan abad ini barangkali sudah mencapai masa pubertasnya yang sedemikian hebat, berbagai macam kecanggihan produk-produk IT terus mengalir deras seakan tak punya hulu. Bahkan negara-negara konsumen seperti kita misalnya dipaksa belepotan untuk terus mengikuti mode-mode baru yang terus meningkat prestisnya. Smartphone sebagai contoh paling ril yang menguasai pada abad ini serta di pasar global telah menjadi pesaing dan ancaman besar bagi perusahaan-perusahaan elektronik lainnya. Di negara Jepang kodak fudji dipaksa gulung tikar oleh kamera-kamera digital yang lebih  mumpuni secara performa dan resolusi, namun hal itu tidak sampai ke ujung kiprah segera digempur oleh produk-produk ponsel pintar (smartphone) yang lebih fleksibel serta juga dibekali dengan kamera dan video berukuran HD (High Definition) yang tak kalah tajam dengan kamera digital berikut lengkap dengan perangkat internetnya yang memiliki dapur pacu yang tinggi, kemudian masih banyak lagi perusahaan-perusahaan seperti intel yang juga kelabakan dengan gebrakan smartphone tersebut.

Maka tidak heran kalau  masa suatu produk pada abad ini tidak memiliki umur yang panjang karena disebabkan oleh gempuran inovasi dari berbagai sisi, entah itu dari otomotif, alat telekomunikasi dan lain sebagainya. Semuanya hanya serba lewat dan cepat, semakin cepat maka akan semakin cepat pula basi, maka betul kalau ada yang mengatakan bahwa manusia lah yang mempercepat kehidupannya sendiri. Itulah karakter dari kehidupan sekarang yang tidak  adaptif dengan segala sesuatunya, ingin cepat ini dan itu, semuanya diterobos dengan ego masa kininya yang tinggi. Bahkan ada yang lebih ironi kalau kita mampu melihat lebih detail lagi, gempuran inovasi pada abad modern ini telah menghasilkan beberapa hal termasuk yang saya maksud adalah menyangkut keyakinan akidah umat islam pada khususnya, berbagai aliran muncul ke permukaan bak jamur di musim hujan, otentisitas akidah banyak yang diotak-atik, dipoles, dimodifikasi, dikurangi dan ditambahi sesuai kepentingan dan seleranya. Meski ini bukan hal yang baru namun sebenarnya puncak kebobrokannya yang paling mencolok ke permukaan ialah di masa sekarang. Masa di mana orang-orang menyukai hal-hal yang simpel, cepat dan tak mau ribet dengan segala urusan kehidupannya.

Maka banyak sekali jebakan-jebakan laten yang sebenarnya lahir dari manusia itu sendiri dengan upaya ingin mengelaborasikan semua hal kehidupannya sesuai zaman yang ia hadapi seperti kata sang pujangga kesunanan Surakarta Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito dengan istilah "kalau tidak ikut gila maka tidak ikut kebagian" artinya secara sederhana kalau tidak mengikuti mekanismenya saat ini maka ketinggalan zaman, kampungan, terisolir, dan lain sebagainya. Apalagi kita sedang hidup dalam peradaban kamera, di mana aktifitas memotret dan selfi menjadi hobi yang paling populer dan menyenangkan, kesana-kemari berfoto, makan, nongkrong, bahkan ingin tidur pun sekalian masih sempat aktif dengan kamera, barangkali ini yang disebut syndrom stadium tinggi. Perbedaannya dengan zaman orang tua kita dulu atau digital immigrant (generasi yang lahir sebelum kita), aktifitas berfoto tak lebih hanya sekedar dijadikan dokumen dan dilakukan pada moment-moment tertentu serta dijadikan hiasan dinding-dinding ruang tamu, bukan  pada dinding-dinding sosial media yang mengharapkan jempol dan koment sanjungan.

Namun demikianlah mekanismenya, hidup di tengah gempuran inovasi memang menuntut yang up to date, serba "berkelebat" di hadapan kehidupan dan tentu persaingan, bahkan sepertinya tidak ada suatu hal yang dapat bernafas panjang dan segera digantikan oleh yang baru apapun itu. Kita mungkin hobi nulis status di sosial media namun tulisan itu tidak dapat bertahan lama, sepersekian detik akan digeser oleh tulisan-tulisan yang lain. Ini bukti kecil bahwa tulisan saja ilmiah atau lebai sekalipun mempunyai persaingan ketat pada peradaban ini. Bahkan jika lama anda tidak membuka sosmed sering pertanyaan yang mendarat "kemana saja kok lama gak online, gak ada kabar, dan seterusnya. Seakan-akan sistem kecanggihan inilah yang memegang tali kendali kehidupan serta menuntut kita untuk terus menatap dinding-dinding dunia maya yang menjadikan kita sebagai generasi layar yang tidak tahan gempa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun