Mohon tunggu...
D. Prasetyo Dwi Putranto
D. Prasetyo Dwi Putranto Mohon Tunggu... Lainnya - Sisya yang sedang menempuh ruang pencarian ke-Jawa-annya

Edukator Sumbu Filosofis Yogyakarta || Guiding || Penulis Lahir 05 Oktober 1997, di Kota Yogyakarta dengan penuh kesederhanaan dan berkecukupan. Tumbuh dan kembangnya berdampingan dengan tumpukan buku-buku lawas sastra dan sejarah membawa penulis terjerumus dalam guratan-guratan tinta hitam di atas kertas putih. Memiliki ketertarikan pada ilmu Sastra Jawa dan tradisi budaya, menjadikan penulis seringkali blusukan untuk mempelajari hal-hal baru yang berkaitan dengan ritus, klenik, dan makam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kilas Balik: Mengenang 5 Tahun Profesor Simuh

27 Mei 2020   07:21 Diperbarui: 2 Juni 2020   05:44 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Simuh Pakar Sufisme Jawa | perspektifbaru.com

“Ibu kami meninggal sewaktu adik perempuan kami berusia 1 tahun. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana wajah Ibu kami yang tercinta itu. Mungkin kakak perempuan kami yang dapat mengenalnya, Kami ingat dia menangis keras-keras sewaktu Ibu kami meninggal”.

Begitulah kiranya salah satu dari rangkaian kalimat yang sempat dituturkan Simuh, pada kesempatannya menyampaikan sambutan di balik mimbar pengukuhan guru besar IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta (kini UIN). Lahir dari keluarga petani, tak menyurutkan semangat Simuh kala itu untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tak tanggung-tanggung, gelar doctoral di Canberra University, Australia pada tahun 1963 diraihnya dengan hasil disertasi: “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito: Studi tentang Wirid Hidayat Jati”.

Tentu pencapaian prestasinya ini tak lepas dari pengalaman masa lalu dan buah dari hasil didikan Supoyo, Ayah Simuh, yang sangat keras dan mempunyai keinginan yang tinggi dalam mendidik anak-anaknya, terutama anak laki-laki. “… Ayah kami tidak pernah bersekolah namun bisa membaca kitab kuning”. Selama ini, Simuh terkenal sebagai pakar kajian tasawuf Islam Jawa . Sejumlah buku yang Ia tulis banyak mengulas tema-tema sufisme dan mistisisme dalam tradisi Islam Jawa. Namun, siapakah Simuh sesungguhnya?

Masa Kecil Simuh 

Lahir di Kota Yogyakarta, 3 Juni 1933 dari sepasang keluarga kecil di kaki Gunung Merapi. Simuh kecil tak begitu mengingat rupa Ibunya kala itu. Yang Ia ingat hanya kenyataan bahwa isak tangis yang pecah dari mulut kakak perempuannya itu, ketika Tuhan Yang Maha Esa menjemput ibundanya untuk selama-lamanya. 

“Ibu kami meninggal sewaktu adik perempuan kami berusia 1 tahun. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana wajah Ibu kami yang tercinta itu. Mungkin kakak perempuan kami yang dapat mengenalnya, Kami ingat dia menangis keras-keras sewaktu Ibu kami meninggal.”

Kemudian Simuh menuturkan kembali kenangan masa kecilnya yang lain, “… Ibu tiri kami adalah orang yang tidak beranak (gabuk, mandul), karena tidak beranak, maka ibu kami agak keras wataknya dan mudah tersingung bila kami agak berani menentang perintahnya, di membentak dan menangis kelara-lara; mengatakan: “endah-endah anal ora le ngeden dewe, ya maneni wong tua’ maka sejak kanak-kanak kami terpaksa harus berlatih sabar agar tidak menyingggung perassan orang lain, Walaupun agak keras watak nya ibu tiri kami sangat ulet bekerja bakul tembakau, bakul beras dan sebagainya.”

Simuh kecil juga berkesempatan mengenyam pendidikan formal, meski begitu keras rintangan yang Ia hadapi kala itu. Bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) di kampung kelahirannya dan berhasil menuntaskan pendidikannya di tahun 1945. Simuh menceritakan pengalaman sekolahnya pada zaman penjajahan kala itu. 

Simuh terpaksa pindah sekolah dua kali dikarenakan jarak rumah menuju sekolahnya yang terlampau jauh dan melewati beberapa desa tetangga. Namun siapa sangka, Simuh kecil juga pernah mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan tatkala ia harus melintasi desa-desa tetangga sepulang sekolah. 

Simuh kerap kali di-bebeda (dikerjai) oleh anak-anak yang lebih besar, “… Kami sering di kejar-kejar, bahkan kami pernah ditanam hidup-hidup. Lalu kami tidak mau sekolah lagi". Ia kemudian dipindahkan ke Sekolah Kesultanan. Simuh juga menceritakan proses pendidikan waktu itu. “… Waktu zaman penjajahan Belanda terkadang Guru sangat keras, kami masih ingat disuruh menirukan membuat angka lima di papan tulis di depan kelas, tidak bisa angkanya selalu kami tidurkan menulisnya. Akibatnya kami dibentak-bentak dan dikeplaki sampai menangis di depan kelas”.

Setelah lulus, Simuh melanjutkan Pendidikan menengah pertama yang pada waktu itu disebut MULO. Namun menjelang kenaikan dari kelas 2 menuju kelas 3, Simuh remaja terpaksa harus berhenti untuk tidak bersekolah akibat dari gejolak perang kemerdekaan melawan penjajah (agresi militer Belanda II). 

Atas dasar keinginannya yang kuat untuk melanjutkan pendidikan, maka setelah disetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta (Perjanjian Roem-Royen), Simuh kembali melanjutkan sekolah ke kelas 3 SMP. Pada tahun 1953 Simuh berhasil menuntaskan pendidikan di SMA Kota Baru Yogyakarta.

Pernah Gagal Menjadi Mahasiswa UGM

Siapa sangka jika Prof. Simuh pernah ditolak ketika mendaftarkan diri di UGM? Setelah pengalamannya itu, Simuh memutuskan untuk mengajar sebagai guru di bidang Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Madrasah. Mulai dari sinilah Simuh setiap malam belajar Ilmu tentang Nahwu-Shorof dengan guru Bahasa Arab di Madrarah asal Temanggung, Ali Bashar. 

Atas dasar motivasi dari Bapak Ali Bashar dan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi, Simuh melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN) Fakultas Ushuluddin sembari mengajar sebagai Guru Agama di SMP Darma Putra di Desa Rejondani.

Setelah lulus dengan gelar Sarjana pada tahun 1963, Simuh mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Canberra University, Australia.  Awal 1980-an, Simuh menyelesaikan program doktornya dengan disertasi berjudul "Mistik Islam Kejawen Jawa Raden Ngabei Ronggowarsito, Studi tentang Wirid Hidayat Jati". Simuh kemudian dikukuhkan sebagai guru besar pada tahun 1996.

Pendidikan hingga Karier

Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Simuh sempat mendapat penunjukkan sebagai  pengampu mata kuliah tasawuf oleh Prof. Mukti Ali (Dekan Fakultas Ushuluddin pada saat itu). Penunjukkan ini tak lain karena dosen pengampu mata kuliah tasawuf yang seharusnya mengajar sedang berhalangan hadir, maka Simuh kala itu diminta untuk mengampu mata kuliah tersebu.

Pada tahun 1972-1976, Simuh menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin. Tahun 1978, Ia diangkat sebagai dosen tetap mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam pada Fakultas yang sama. Selanjutnya pada tahun 1980-1984, Ia ditetapkan sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat. 

Berkat ketekunannya, Simuh dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan di Fakultas Ushuluddin selama dua periode (1984-1992). Berkat dedikasinya itu, pada tahun 1992 Simuh diangkat sebagai 'orang nomor satu' IAIN Yogyakarta sampai dengan tahun 1995. Terbukti mampu membawa IAIN Sunan Kalijaga ke arah yang lebih bagus dan dapat diterima di semua golongan, Simuh dipercaya kembali menjabat sebagai Rektor untuk periode 1995-1998.

Tepat 5 Tahun

Simuh meninggal dunia pada hari Rabu petang, 27 Mei 2015 setelah sempat mengalami gangguan kesehatan karena faktor usia. Sebelum meninggal, Simuh sempat dirawat di RS Bethesda sejak Senin, 18 Mei 2015. Simuh meninggalkan satu istri, dua putri, dan tiga putra. Semasa hidupnya, Simuh dikenal sebagai orang yang sederhana dimata para koleganya. Pit ontel kesayangan Simuh menjadi saksi bisu yang digunakan tuannya sebagai moda transportasi ngantornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun