Mohon tunggu...
Djasli Djosan
Djasli Djosan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mantan redaktur dan reporter RRI, anggota Dewan Redaksi majalah Harmonis di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa Menilai Demokrasi Indonesia

16 Agustus 2019   12:25 Diperbarui: 16 Agustus 2019   12:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tokoh Reformis, Amien Rais berpendapat bahwa tanpa adaya oposisi, demokrasinya bohong- bohongan. Ini menarik karena sejak Presiden Sukarno memberlakukan apa yang disebutnya sebagai 'demokrasi terpimpin' sampai berakhirnya masa orba, sudah tidak ada lagi kelompok oposisi  di  DPR. Kaum oposisi ini sangat berperan dalam pertarungan politik di DPR, sehingga dengan senjata 'mosi tidak percaya' pemerintah jatuh bangun berusia rata-rata di bawah satu tahun.

Orang awam memahami demokrasi sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, bukan atas titah raja dan keluarga raja. Beberapa negara kerajaan seperti Inggeris dan Negeri Belanda adalah negara demokrasi  karena pemerintahannya dipilih oleh rakyat. Dalam melaksanakan demokrasi itu terdpat lagi versi dengan membentuk DPR dan tanpa DPR. Contoh negara-negara yang tidak memiliki DPR adalah Republik Rakyat Cina dan Republik Demokrasi Korea, Dua negara  ini tidak punya kelompok oposisi karena tidak ada DPRnya. Pertarungan politik terjadi di dalam partai komunis satu-satunya partai yang ada.

Demokrasi Indonesia sudah ada tuntunannya yaitu UUD 45 dan dasar negara Pancasila. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penafsiran-penafsiran oleh para tokoh dan pemimpin bangsa dari masa ke masa. Presiden Sukarno berkeyakinan demokrasi yang cocok untuk Indonesia adalah 'demokrasi terpimpin'. Terjadilah hal-hal aneh seperti menyamakan kedudukah aggota DPR dengan menteri, mengangkat Ketua MPRS Chairul Saleh menjadi Waperdam 3 {Wakil perdana Menteri  3}. Presiden Sukarno sendiri menyebut dirinya sebagai Presiden/Perdana Menteri/Pemimpi Besar Revolusi. Satu-satunya pemimpin yang berani mengeritik tindakan Presiden Sukarno itu adalah Mohammad Hatta. Ia menyebut Presiden Sukarno sebagai seorang 'diktator'. Akibatnya tulisan Hatta berjudul 'Demokrasi Kita' dilarang beredar. Tokoh-tokoh politik lainnya masa itu terjebak dalam sikap 'mendukung tanpa reserve' setiap tindakan politik Presiden Sukarno.

Dalam zaman reformasi ini nyaring terdengar suara beberapa tokoh yang menyebut Presiden Suharto sebagai 'otoriter`. Padahal ada DPR dan MPR. Haya saja dua partai politik P3 dan PDI kalah suara di DPR dengan Golkar tambah fraksi ABRI yang diangkat. Akbatnya semua program pembangunan  pemerintah berjalan mulus tanpa koreksi. Kalau memang tindakan Presiden Suharto otoriter, seharusnya dua partai politik yang ada di DPR mengajukan keberatan sekalipun akan kalah juga.

Yang paling baru adalah tuduhan dari kuasa hukum Pradowo/Sandi di MK bahwa Presiden Jokowi adalah orba-baru degan mengutip pakar dari Australia. Artinya, Presiden Jokowi  otoriter, sehingga mudah menyalahgunakan uang negara untuk memenangkannya di  pilpres 2019.

Pertanyaannya, siapa sebetulnya yang berwenang menilai pelasksanaan demokrasi di Indoneia, sehingga masyarakat luas tidak teromban-gambing oleh berbagai pendapat sejumlah tokoh yang bukan pakar hukum tata negara?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun