Mohon tunggu...
Djagad Lelanang
Djagad Lelanang Mohon Tunggu... lainnya -

saya, lelaki dan terus mencoba menjadi lelaki dalam pikiran, perkataan dan tindakan saya. Saya terbuka dengan aneka pemikiran, konsep, sistem hidup, apapun itu hingga yg paling tak lazim pun.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemanakah Hal-hal Material pada Akhir Zaman? (Pandangan Kristiani mengenai Eskatologi dan Ekologi)

26 Juli 2012   08:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:36 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengantar

Salah satu isu penting yang dibicarakan dalam eco-teologi kristiani adalah kemanakah hal-hal material akan berada pada akhir zaman nanti. Apa yang akan terjadi pada matahari, bulan, bintang-bintang, hewan, tumbuhan, tanah bila akhir zaman datang? Pertanyaan-pertanyaan lain yang tak terbayangkan akan menyusul kemudian. Kemanakah semut-semut, nyamuk atau bunga anggrek akan berada bila akhir zaman datang? Masalah ini adalah masalah status akhir hal-hal material. Tentu saja, iman kristiani tak akan kesulitan menjawab bila pertanyaan itu adalah tentang keberadaan manusia di akhir zaman.

Sementara itu, berkaitan dengan masa depan alam material itu, para ilmuwan mulai menyampaikan hipotesis[1]. Beberapa ahli kosmologi berpendapat bahwa semesta selalu hidup dan hidup. Bagi kelompok ini, alam semesta ini tanpa awal dan akhir. Oleh karena itu, pertanyaan tentang keberadaan akhir semesta ini tak pernah ada.

Kelompok ahli kosmologi lain mengatakan semesta ini pada akhirnya akan terus menerus berproses sampai ia musnah. Kelompok ini mendasarkan pada teori Big Bang sebagai asal mula bumi. Mereka menyakini bahwa semesta terus berproses, dan ledakan, semacam Big Bang yang lain akan terjadi sekitar delapan puluh juta tahun setelah Big Bang yang pertama. Dan, pelan-pelan semesta akan musnah. Matahari tak lagi berfungsi. Bintang-bintang pun akan menjadi debu. Itulah akhir dari semesta.

Akhirnya, berhadapan dengan hal itu, bagaimanakah jawaban iman kristiani? Apakah yang dikatakan oleh tradisi iman kristiani berkaitan dengan ekologi di akhir zaman nanti? Dalam bahasa iman kristiani, pembicaraan ini adalah pembicaraan hubungan antara ekologi dan eskatologi. Secara sederhana, boleh ditanyakan di sini, apakah pada zaman eskatologi nanti, hanya manusia yang dibangkitkan? Bagaimana nasib yang lain? Apakah makhluk hidup yang bukan manusia dan benda-benda material juga ikut dibangkitkan?

Singkatnya, tulisan ini akan mengulas tentang hal-hal di atas. Penulis ingin menunjukkan bahwa ada kaitan antara ekologi dan eskatologi dalam tradisi kristiani. Melalui sumber-sumber ajaran iman, penulis ingin menyuguhkan pandangan teologis akhir zaman atau masa depan berhubungan dengan ekologi.

Eskatologi Kristiani

Dalam kamus teologi dikatakan bahwa eskatologi berasal dari bahasa Yunani (eschatology-eschata: pengetahuan mengenai hal-hal terakhir). Eskatologi adalah cabang teologi sistematik yang mempelajari kepenuhan Kerajaan Allah sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Lama mengenai persiapannya (misalnya harapan Mesianis), pewartaan Yesus, dan ajaran Gereja Perjanjian baru[2]. Eskatologi berarti akhir dunia ketika kerajaan Allah merajai bumi.

Tshibangu Tshishiku lebih tegas lagi merumuskan bahwa eskatologi adalah ajaran tentang akhir zaman, keadaan pemenuhan setiap makhluk hidup dan manusia ketika Kerajaan Allah berdiri secara nyata[3]. Lebih lanjut, berkaitan dengan eskatologi itu, Tshibangu membedakan tentang ajaran tradisional dan ajaran kedatangan Kristus kembali.

Ajaran tradisional menyampaikan bahwa nasib makhluk hidup setelah kematian selalu berada di tangan Allah. Tindakan, komitmen dan sikap manusia terhadap Allah itu menentukan keselamatan yang datang lewat dan melalui Yesus Kristus. Jiwa manusia lalu bersatu abadi dengan Allah sendiri di surga. Surga adalah tempat dan juga kehadiran Allah sendiri. Di sana terdapat kebahagiaan tertinggi, dan kegembiraan yang berlimpah.

Namun, bila ditemukan dosa yang besar, yaitu penolakan radikal terhadap Allah, jiwa manusia itu dihukum ke neraka. Di sini tempat yang penuh dengan hukuman dan penyiksaan. Bila ada dosa yang bisa dimaafkan, mereka tidak langsung menuju surga tetapi melewati api penyucian atau purgatorium.

Dari penjelasan tradisional tersebut, ada tiga hal penting yang kerap kali didiskusikan[4]. Tiga hal penting itu adalah mengenai penghakiman, neraka, dan penyatuan jiwa dan tubuh setelah kebangkitan. Ketiga hal penting itu biasa dirumuskan dalam pertanyaan fundamental.

a.Mengenai Penghakiman Terakhir

Jika penghakiman terakhir langsung mengenai setelah kematian seseorang, dan menentukan keselamatan atau ketidakselamatan manusia, apa peran api penyucian atau purgatorium? Atau, apa peran doa-doa kepada orang mati seperti yang diajarkan dalam tradisi Gereja katolik?

b.Mengenai Neraka

Dapatkah hukuman ini absolut dalam ruang dan waktu dikenakan pada ciptaan yang adalah tak sempurna, terbatas seperti manusia? Gereja sendiri masih mempertahankan ini sebagai aspek yang pasti dari kebangkitan hidup.

c.MengenaiPenyatuan Jiwa dan Tubuh setelah Kebangkitan

Pertanyaan ini mengenai keberadaan jiwa yang menunggu bersatu dengan badan dalam kebangkitan. Jiwa yang tak dapat mati itu terdiri dari apa? Apakah yang paling mendasar, material atau spiritual?

Ajaran berikutnya menekankan kedatangan Kristus kembali atau parousia yang akan membawa dunia yang baru. Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang hidup dan orang mati. Setan akan dikalahkan. Seluruh makluk dan ciptaan akan diadili oleh Kristus sendiri. Mereka akan dibangkitkan dan yang ditentukan untuk mencapai keselamatan akan dianugerahi kebahagiaan dan keselamatan abadi. Tentu saja, mereka yang mendapat hukuman, tubuh dan jiwanya akan dibawa ke tempat yang penuh dengan penderitaan.

Kedatangan Kristus kembali membawa surga baru. Dunia akan mengalami perubahan. Dunia dan segala isinya akan mengalami transformasi. Akan datang surga baru dan dunia baru dimana ada kebajikan akan tinggal (2 Petrus 3:12). Tuhan akan membuat segala sesuatu menjadi baru (Kis 3:21). Kemenangan Kristus akan setan membuat segala sesuatunya berubah, menjadi lebih sempurna daripada sebelumnya.

Dalam perkembangannya, para teolog memberi catatan tentang eskatologi dengan penekanan yang berbeda. Teolog-teolog Kristen misalnya, dengan penekanan kritik pada eksegese Kitab Suci. Karl Barth, dengan teologi dialektiknya menegaskan bahwa eskatologi dan kristiani menunjukkan relasi dengan Kristus sendiri. Bultmann, dengan menekankan prinsip demitologisasi melangkah lebih jauh lagi. Dia menekankan implikasi eksistensial dari pemakluman eskatologi.

Pada abad ke-20 ini, pemahaman eskatologi mulai bergeser. Secara sederhana, pergeseran kencerungan umum pemikiran eskatologi dapat dibagi sebagai berikut:

a.Dari eskatologi sebagai bagian akhir dogmatis menjadi bagian penting pada keseluruhan teologi

Pandangan ini sebenarnya menegaskan bahwa teologi dogmatik mendasarkan diri pada sejarah keselamatan. Dan, sejarah keselamatan itu pasti bersinggungan dengan eskatologi.

b.Dari eskatologi masa depan ke eskatologi sekarang

Makluk hidup masa depan sudah hidup saat ini. Oleh karenanya, keadaan akhir setiap makluk hidup dibentuk hari demi hari.

c.Dari eskatologi esensi ke eskatogi keberadaan

Ketika eskatologi mulai bergeser pada eskatologi sekarang ini, maka dampaknya, orang kristiani diajak untuk menyadari keberadaan saat ini.

d.Dari ‘eschata’ sebagai tempat atau keadaan ke ‘eschaton’: pribadi

Dalam hal ini eskatologi dihubungkan kepada Kristus sebagai kehadiran real eskatologis yang aktual dalam sejarah Gereja dan dunia.

e.Dari individual ke eskatologi universal

Eskatologi mulai bergeser kepada masa depan seluruh makhluk hidup dan seluruh ciptaan Tuhan sendiri. Maka, eskatologi tak hanya menyentuh aspek individual.

Belakangan, perspektif eskatologi sebagai sebuah proses teologi dipengaruhi filsafat Whitehead. Filsafat Whitehead yang menekankan visi kesatuan semesta mempengaruhi paham eskatologi kristiani. Pertama, manusia, khususnya, tubuhnya merupakan bagian integral semesta.Kehidupan makhluk hidup bukan sekadar penerusan melalui kelahiran. Masa depan individu tak bisa dipisahkan dari semua makhluk dan semesta. Kedua, iman kristiani menyampaikan bahwa makhluk hidup mempunyai peran ganda: memenuhi muka bumi dan saling membagikan hidup abadi Allah sendiri. Hidup dalam cinta berarti hidup dalam solidaritas dalam membangun keadilan. Manusia dituntut untuk bersolider dengan semua ciptaan. Ketiga, eskatologi dibuat nyata hadir dalam hidup ini melalui usaha mendirikan Kerajaan Allah dalam komunitas-komunitas yang penuh dengan persaudaraan, cinta kasih dan bekerja untuk keadilan. Solidaritas dengan sesama makhluk ciptaan tak hanya berhenti pada kematian phisik, tetapi saling berbagi sampai di surga, Kerajaan Allah nantinya.

Paham eskatologi Kristiani sendiri selalu berhubungan dengan soteriologi dan kristologi[5]. Akhir zaman itu berarti kedatangan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Yesus Kristus menyelamatkan manusia melalui inkarnasi dan wafatnya. Kedatangan-Nya kedua kali ke dunia adalah untuk menghakimi manusia dan membawa pada keselamatan. Keselamatan hanya terjadi melalui penebusan lewat wafat Yesus di salib. Dan, keselamatan itu menjadi nyata ketika Yesus datang kedua kalinya, yaitu pada akhir zaman.

Ekologi dan Eskatologi

Sebenarnya, dibandingkan dengan kesadaran akan permasalahan-permasalahan sosial, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia dan lain-lain, keprihatinan terhadap ekologi di kalangan teolog kristiani barulah muncul agak kemudian[6]. Konsili Vatikan II (khususnya pada Gaudium et Spes, 1965) sudah menyampaikan perhatian yang serius terhadap masalah-masalah keadilan, perdamaian. Namun, perlu disadari bahwa dalam dokumen Gaudium et Spes itu tak ditemukan kata-kata seperti pelestarian alam, lingkungan hidup. Kesadaran akan ekologi sebagai suatu yang patut direfleksikan belum muncul.

Satu peristiwa penting yang mengubah dan menggerakkan diskusi ekoteologis hingga sekarang ini adalah tulisan Lynn White: The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1974). Dalam tulisannya itu, Lynn White menuduh bahwa demitologisasi terhadap alam ciptaan yang berakar tradisi Yadudi-Kristenlah penyebab kerusakan ekologis. Kritik Lynn White itu memicu para teolog untuk merefleksikan kembali sejumlah gagasan berkaitan dengan ekologi.

Tentu saja, gagasan-gagasan penting teologis yang berkaitan dengan ekologi mulai berkembang. Salah satu contohnya adalah tentang teologi penciptaan dan kaitannya dengan ekologi. Contoh lainnya adalah mengenai soteriologi dan Kristologi dan kaitannya dengan ekologi. Berikut ini dihadirkan pandangan teologis mengenai eskatogi dan kaitannya dengan ekologi. Pandangan teologis ini mendasarkan diri pada ajaran kitab suci, Bapa-Bapa Gereja, dan Dokumen Gereja.

Ajaran Kitab Suci

Dalam ajaran Kitab Suci ternyata tentang masa depan perhatiannya tidak hanya pada manusia tetapi juga pada makhluk lain, bahkan pada semesta. Gambaran masa depan yang baru dalam Kitab Suci bukan sekadar gambaran manusia baru, tetapi semesta yang baru juga. Kitab Suci menyuguhkan pandangan teologis masa depan yang tak hanya menekankan antrophosentrisme. Berikut ini disampaikan gambaran tentang eskatologi yang ramah dengan ekologi dalam kitab suci.

a.Yesaya 43: 19-21

Pokok masalah pada ayat-ayat di sini adalah pembebasan orang Yahudi dari Babel[7]. Yahwe adalah pencipta Israel melalui Keluaran. Namun, peristiwa keluaran bukan sekadar masa-masa lalu, tetapi masa yang sedang terjadi pada masa kini dan terulang kembali. Keluaran adalahpola sejarah. Hal-hal di masa Musa itu memang telah lewat, tetapi akan terus terjadi di masa sekarang. Deutero-Yesaya menunjukkan jalan penggunaan kisah Keluaran untuk menerangi situasi baru. Keluaran yang asli diikuti kegagalan dari pihak Israel. Deutero-Yesaya mengakui ini dan bahkan menambahkan kehancuran Yerusalem sebagai hukuman bagi dosa Israel. Dan, kepatutan sebagai hamba Allah ini membuat Israel dibantu oleh roh menjadi sesuatu yang baru, dihidupkan kembali seperti air memberikan kehidupan kepada tanah yang kering.

Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara. Binatang hutan akan memuliakan Aku, serigala dan burung unta, sebab Aku telah membuat air memancar di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara, untuk memberi minum umat pilihan-Ku; umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku. (Yes 43: 19-21)

Di sini dikatakan dengan jelas bahwa Yahwe, Pencipta Israel akan membuat segala sesuatu yang baru. Yahwe menciptakan jalan di padang gurun, sungai-sungai di padang belantara. Tidak dikatakan bahwa ciptaan baru itu hanya manusia saja. Memang keturunan Israel Baru yang patuh menjadi hamba Tuhan adalah manusia itu sendiri. Namun, Yahwe, Tuhan Israel itu menciptakan semesta yang baru yang sudah dimulai pertumbuhannya sejak sekarang.

b.I Korintus 15: 24-28

Kemudian tiba kesudahannya, yaitu bilamana Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah Bapa, sesudah Ia membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan. Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah meletakkan semua musuh-Nya di bawah kaki-Nya. Musuh yang terakhir, yang dibinasakan ialah maut. Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kaki-Nya. Tetapi kalau dikatakan, bahwa "segala sesuatu telah ditaklukkan", maka teranglah, bahwa Ia sendiri yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus itu tidak termasuk di dalamnya. Tetapi, kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.

(1 Kor 15: 24-28)

Konteks luas pada ayat ini adalah kebangkitan orang mati[8]. Konsekuensi dari dosa Adam meliputi kebutuhan universal akan keselamatan. Dosa mendatangkan kematian bagi semua. Kebangkitan Kristus di masa lalu adalah pengharapan bagi masa depan.

Pada akhirnya, Kristus akan menundukkan segala sesuatu kepada diri-Nya, baik rohani maupun jasmani. Tugas-Nya adalah menghancurkan semua ketidakpercayaan dan kemudian menyerahkan semua yang ada dalam kekuasaan-Nya kepada Allah Bapa. Kematian Kristus memulai proses mengalahkan kuasa musuh dosa dan kebencian. Dalam Kristus, Allah telah memberi manusia bagian dalam karya pemuliaan dunia dengan diri-Nya (2 Kor 5:17-20; Kol 1:20). Kristus adalah jaminan pewarisan kita, pembayaran pertama dari penebusan penuh umat yang telah dijadikan Allah menjadi milik-Nya.

Dengan kebangkitan-Nya, Kristus menjadi Tuhan. Ia dibebaskan dari segala sesuatu, karena segala sesuatu tunduk kepada-Nya. Ia telah taat kepada Bapa maka Ia ditinggikan dan diberi nama di atas segala nama, demikian selalu dan di mana-mana, Allah adalah segalanya dalam segalanya.

Kalau dicermati pada ayat-ayat itu, kata “segala sesuatu” berulang-ulang muncul. Kristus telah menaklukkan segala sesutu, dan segala sesuatu tunduk di bawah kaki-Nya. Nada teologis yang tak hanya antrophosentrisme muncul di sini.

c.Roma 8:18-23

Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita. (Rom 8:18-23)

Konteks luas pada perikop ini adalah kehidupan kristen dalam roh[9]. Pada ayat-ayat sebelumnya digambarkan kontras antara roh dan daging. Paulus mempergunakan ungkapan untuk roh: roh Allah, roh Kristus. Pada tempat berdiamnya roh, Allah, yang membangkitkan Yesus, juga akan membangkitkan kita pada hari penghakiman terakhir. Karena itu, Paulus mengajak untuk hidup dalam roh. Hidup dalam roh atau tunduk dalam roh adalah menjadi anak Allah yang sejati. Roh ini menyatakan bahwa kita adalah adalah anak-anak Allah yang dikasihi, yang bisa mengenal Bapa. Singkat kata, roh inilah yang memampukan hubungan dekat antara manusia dengan Allah.

Supaya orang jangan terlalu hanyut oleh berita baik ini, Paulus mengingatkan pembacanya bahwa mereka harus menderita bersama Kristus supaya dimuliakan bersama-Nya. Tetapi, perlu disadari bahwa penderitaan yang ditanggung tak dapat dibandingkan dengan kemuliaan atau pengambilan kebahagiaan dalam kehidupan Allah yang merupakan tujuan setiap orang beriman. Nah, inilah konteks sempit ayat-ayat di atas.

Bila dicermati, pada ayat-ayat itu tak hanya unsur manusia saja yang merindukan keselamatan. Di situ muncul kata-kata, ‘seluruh makhluk’ atau ‘segala makhluk’. Seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Itulah saat masa akhir yang akan datang. Seluruh makhluk itu juga terkena dosa Adam sehingga sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Tetapi, dalam pengharapan segala makhluk yang telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.

d.2 Petrus 3: 11-13

Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran. (2 Petrus 3: 11-13)

Teks ini menunjukkan bumi ini akan mengalami transformasi. Hal ini dihubungkan dengan kebangkitan Kristus[10]. Kedatangan Kristus kedua kalinya akan membawa akhir dunia dan bumi akan mengalami transformasi. Tiba saatnya surga baru datang dan bumi baru muncul. Bumi baru itu digambarkan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.

Dalam tafsir ayat-ayat ini dikatakan bahwa pengarang menarik implikasi moral dari ajaran yang ia bela[11]. Dunia ini rusak dan akan lenyap, maka orang beriman diajak menuju hidup di masa depan yang murni dengan mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Mereka yang menerima janji-janji Allah mengenai parousia harus senantiasa hidup sesuai dengan itu dan menjauhi tindakan imoral dan mempersiapkan diri untuk menyongsong akhir zaman ini. Tujuan mereka adalah langit baru dan bumi yang baru di mana ada kebenaran. Sikap para bidaah terhadap masalah ini tidaklah demikian; mereka berpendapat bahwa dunia ini adalahsegalanya. Mereka betah dalam kerusakan dunia ini dan tidak lagi mengharapkan Allah. Maka, mereka tak peduli dengan persiapan masa depan sehingga merekamengarah kepada kehancuran yang tetap. Konsep masa depan digambarkan dalam teks ini sangat peduli dengan lingkungan hidup dengan gambaran yang serba baru. Sekali lagi, dalam teks ini membuktikan masa depan atau akhir zaman bukan hanya melukiskan manusia.

Demikianlah ayat-ayat kitab suci menunjukkan dimensi ekologis dalam masa eskatologis. Sebenarnya perlu dicatat pula kitab Wahyu 21-22. Dalam kitab Wahyu 21-22 ini menunjukkan bahwa Tuhan akan menciptakan segala sesuatunya baru. Memang, di sini pengarang kitab ini tidak tertarik pada implikasi dari gambaran mengenai ciptaan baru yang telah ia ambil dari Yesaya (lih. Yes 65:17)[12]. Akibatnya, tidak dapat dicari informasi dari ayat-ayat ini mengenai pembaruan dunia alamiah. Namun, simbol-simbol yang dipakai menunjuk gambaran dunia ciptaan baru pada akhir zaman.

Dari berbagai teks-teks kitab suci di atas, rasanya sudut pandang teologis tentang eskatologis ternyata perhatiannya tidak hanya pada manusia saja melainkan juga bagi makluk ciptaan lain. Bahkan, perhatian juga tertuju pada benda-benda material.

Ajaran Bapa-Bapa Gereja

Pandangan bapa-bapa Gereja dapat digolongkan menjadi dua aliran[13]. Aliran pertama disebut aliran simetris. Sedangkan, aliran kedua disebut sebagai aliran asimetris. Pembagian aliran ini berdasarkan kemungkinan refleksi kristiani tentang akhir zaman dengan melihat relasi manusia dengan alam. Aliran asimetris berhubungan dengan motif spiritual sedangkan aliran simetris lebih dekat dengan motif ekologi.

a.Aliran Asimetris

Aliran asimetris berpandangan bahwa hanya manusia yang dipanggil untuk bersatu dengan Allah melalui penebusan. Alam yang baik adalah sejauh melayani manusia dan tidak dipanggil pada tujuan sempurna di akhir zaman. Alam hanya dipandang sebagai pelayan manusia.

Tokoh-tokoh dalam aliran ini misalnya, Origenes (185-254) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Kedua tokoh ini cukup dikenal dalam teologi kristiani. Pandangannya mewakili aliran asimetris.

Bagi Origenes, dunia material tidak masuk dalam rencana penyelamatan Tuhan. Di akhir zaman, dunia tidak akan bersama-sama mencapai keabadian, bahkan mungkin bisa musnah. Origenes berpendapat hanya manusia yang akan dibangkitkan.

Tidak jauh berbeda dengan Origenes, Thomas Aquinas berbicara tentang seluruh bumi di akhir zaman. Menurut Thomas, di akhir zaman, makhluk material seperti binatang, tumbuhan, mineral, seluruh yang telah tercampur dengan tubuh akan mati karena tujuan mereka hidup hanya melayani kebutuhan phisik manusia. Bila kebutuhan manusia terpenuhi, makhluk material itu akan mati. Dengan kata lain, pandangan Thomas tentang akhir zaman ini sangat antrophosentris[14].

Dalam perspekstif lain yang dekat dengan aliran ini, akhir zaman ditandai dengan rusaknya semesta, musnahnya kosmis. Berdasar teks biblis, pandangan ini menginterprestasikan bahwa akhir zaman berarti dunia yang hancur. Salah satu teks Kitab Suci yang dipakai adalah 2 Petrus 3:10.

Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. (2 Petrus 3:10)

Teks ini menunjukkan gambaran para fundamentalis eskatologis. Di akhir zaman nanti alam tak mempunyai tempat dan ditentukan pada kehancuran total.

b.Aliran Simetris

Aliran ini berpandangan bahwa tak hanya kemanusiaan tetapi juga seluruh semesta di mana kemanusiaan menjadi bagiannya ditentukan oleh Tuhan mencapai keabadian. Dalam pandangan ini, alam memiliki nilai intrinsik. Alam bukan hanya instrumen atau alat mencapai pemenuhan kebutuhan manusia. Alam diciptakan dengan memiliki nilai tertentu. Di akhir zaman, tak hanya kemanusiaan yang ditebus tetapi seluruh alam akan ditebus. Alam tak hanya mencapai tujuanakhir tetapi bahkan disempurnakan.

Tokoh-tokoh dalam aliran ini misalnya, Ireneus, Fransiskus Asisi. Ireneus mengatakan, “...tak ada subtansi dan hal-hal yang diciptakan akan dihilangkan....” Sebagaimana manusia membutuhkan penebusan karena dosa-dosanya, demikian juga alam. Alam juga menderita karena akibat dosa manusia juga membutuhkan penyelamatan. Ia disempurnakan oleh Kristus di akhir sejarah nanti.

Fransiskus Asisi tak hanya mengungkapkan pandangan lewat kata-kata tetapi menghidupi pandangan aliran simetris. Hidupnya menunjukkan dimensi eskatologis. Karena kesadaran eskatologisnya, ia bisa mencintai binatang seperti serigala hingga lebah. Ia bisa menyebut matahari sebagai saudara laki-laki, dan bulan sebagai saudara perempuan. Fransiskus yakin bahwa mereka adalah bagian hidupnya. Ia mengantisipasi dalam hidupnya pemenuhan alam di akhir zaman. Sulit membayangkan apabila Santo Fransiskus di surga tanpa dikelilingi oleh ciptaan-ciptaan Tuhan yang ia cintai di bumi.

Demikianlah pandangan Bapa-Bapa Gereja yang terbagi dua aliran. Bila didekati memang aliran simetris sangat dekat dengan ekologis. Aliran ini melihat alam dan ciptaan lain tak hanya sebatas alat yang berguna bagi manusia. Alam semesta dan isinya bukan hanya pelayan manusia. Alam dan ciptaan lain mempunyai nilai intrinsik. Sedangkan, aliran asimetris sangat antrophosentris. Aliran ini memandang alam dan ciptaan lain sebagai alat saja. Tetapi, pandangan Bapa-Bapa Gereja ini menyuguhkan bahwa perhatian teologi akhir zaman akan unsur-unsur ekologis tetap ada. Hal ini ditunjukkan oleh pandangan Bapa-Bapa Gereja aliran simetris.

Ajaran Dokumen Gereja

Dokumen Gereja yang dengan jelas menyinggung tentang teologi akhir zaman berhubungan dengan ekologi adalah Dominum et Vivificantem. Dokumen ini adalah ensiklik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang roh kudus dalam kehidupan Gereja dan dunia yang dikeluarkan pada tanggal 16 Mei 1986. Artikel no. 50, Dominum et Vivificantem menyebutkan:

Inkarnasi dari Allah Putera menandai masuknya ke dalam kesatuan dengan Allah bukan hanya kodrat manusia, tapi dalam kodrat manusiawi ini, dalam arti tertentu, setiap hal yang bersifat “kedagingan”: seluruhkemanusiaan, seluruh dunia yang kelihatan material. Inkarnasi juga punya suatu makna kosmis, suatu dimensi kosmis. “Putra sulung dari seluruh ciptaan” yang menjadi daging dalam kemanusiaan individual dari Kristus, mempersatukan diri-Nya dalam arti tertentu dengan seluruh kenyataan manusia, yang juga “daging” –dan dalam kenyataan ini dengan semua “daging”, dengan seluruh ciptaan[15].

Menurut Stratford Caldecott, eskatologi selalu berhubungan dengan inkarnasi dan communio[16]. Dan, pada artikel Dominum et Vivificantem no. 50 itu dikatakan bahwa inkarnasi mempunyai perhatian pada dimensi kosmik. Stratford mengutip Mattias Scheben bahwa tak hanya tubuh manusia, tetapi seluruh alam material menuju pada pemuliaan. Alam pun sampai tujuan akhir yang abadi. Analoginya sederhana. Bila tubuh manusia sebagai rumah jiwa dibangkitkan, alam material sebagai rumah seluruh tubuh manusia juga akan dimuliakan. Dan, dalam alam material itu termasuk di dalamnya binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan.

Kebangkitan tubuh membawa juga kebangkitan bumi. Nampaknya hal itu masih tak terbayangkan. Namun, kita yakin, bahwa seluruh kosmos, alam semesta telah ditebus, tak ada sepotong rumput pun akan lepas, “sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa” (1 Kor 15:54)

Sementara itu Berdyaev menulis: “Kristus telah memasuki semesta, Dia disalibkan dan bangkit lagi. Dan, semuanya dibuat baru karena-Nya. Maka, seluruh semesta juga mengikuti langkahnya menuju penyaliban dan juga kebangkitan[17].” Maka, setiap orang yang hanya menganggap Gereja sebagai lembaga, hal itu mengingkari arti penting kosmik. Dalam Gereja, rumput tumbuh dan bunga-bunga bermekaran, dan seluruh ciptaan baru dilahirkan dari makam bersama Kristus.

Dari dokumen Gereja itu nampaknya jelas bahwa dimensi alam semesta atau material juga menjadi perhatian penting dari teologi akhir zaman. Berbicara tentang teologi eskatologi tak dapat dipisah dari inkarnasi. Sedangkan, inkarnasi itu sendiri tak hanya menyentuh pada manusia saja, tetapi seluruh semesta dengan segala isinya.

Penutup

Dari uraian panjang lebar di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi kristiani ditemukan hubungan antara paham eskatologi dan ekologi. Sumber-sumber ajaran iman, yaitu ajaran kitab suci, Bapa-Bapa Gereja, dan Dokumen Gereja menyuguhkan pandangan teologis akhir zaman atau masa depan dengan perhatian sangat ekologis.

Penyelidikan Kitab Suci membuktikan bahwa pandangan teologis akhir zaman juga menempatkan semesta sebagai bagian yang diselamatkan. Pandangan Bapa-Bapa Gereja, yang diwakili oleh aliran simetris juga mempunyai perhatian ekologis. Alam semesta dan ciptaan lain bukan sekadar alat atau pelayan manusia. Alam semesta danciptaan lain memiliki nilai intrinsik. Oleh karena itu, Bapa-Bapa Gereja yakin bahwa alam semesta dan ciptaan lain juga ditebus dan diselamatkan pada akhir zaman. Dokumen Gereja, Dominum et Vivificantem juga menjelaskan bahwa inkarnasi juga berdimensi kosmis. Konsekuensinya, dalam akhir zaman nanti, kosmis juga diangkat dalam kemuliaan Allah.

Selanjutnya, apa yang bisa kita buat selama di dunia ini ketika akhir zaman belum datang? Dengan melihat pandangan teologis bahwa manusia dan semesta beserta segala isinya bersama-sama dibangkitkan, diselamatkan, dan diangkat pada kemuliaan Allah, mestinya manusia mulai berpikir ulang akan sikapnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk ciptaan lainnya.

Hubungan antara manusia dan semesta beserta makhluk ciptaan lainnya harus ditata ulang sedemikian rupa sehingga makin harmonis. Iman kristiani harus mendorong solidaritas antar makhluk dan lingkungan hidup. Manusia harus memandang alam dan segalanya lebih hormat dan bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan. Eskatologi bisa dibuat nyata hadir dengan membuat hubungan manusia-semesta harmonis. Manusia harus membangun Kerajaan Allah bersama semesta dengan segala isinya dengan sikap penuh penghargaan, penuh dengan persaudaraan, cinta kasih dan bekerja untuk keadilan. Dan, barangkali, inilah yang disebut oleh Fransiskus Asisi sebagai antisipasi masa depan. Hubungan harmonis dengan semua ciptaan Tuhan adalah antisipasi eskatologis.

[1]Phan, Peter C., Eschatology and Ecology: The enviroment in the end-time, The Irish Theological Quarterly: St. Patrick’s College: Maynooth, 1996, 6-8.

[2]O’Collins, Gerald-Edward G. Farrugia, Kamus Teologi diterjemahkan dari buku A Concise Dictionary ofTheology, Kanisius: Yogyakarta, 2000, 73.

[3]Tshishiku, Tsibangu, Eschatology andCosmology, Concilium, 1983, 27-33.

[4]Tshishiku, Tsibangu, Eschatology andCosmology, Concilium, 1983, 28.

[5]Sunarko, Adrianus, Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis, dalam “Menyapa Bumi, menyembah Hyang Ilahi, tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup”, Kanisius: Yogyakarta, 2008, 38-42.

[6]Sunarko, Adrianus, Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis, dalam “Menyapa Bumi, menyembah Hyang Ilahi, tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup”, Kanisius: Yogyakarta, 2008, 31.

[7]Bergant, Dianne-Robert J. Karris (ed.), Tafsir Perjanjian Lama, diterjemahkan dari buku The Collegeville Bible Commentary, Kanisius: Yogyakarta, 2002, 538.

[8]Bergant, Dianne-Robert J. Karris (ed.), Tafsir Perjanjian Baru, diterjemahkan dari buku The Collegeville Bible Commentary, Kanisius: Yogyakarta, 2002, 306.

[9]Bergant, Dianne-Robert J. Karris (ed.), Tafsir Perjanjian Baru, diterjemahkan dari buku The Collegeville Bible Commentary, Kanisius: Yogyakarta, 2002, 260.

[10]Tshishiku, Tsibangu, Eschatology andCosmology, Concilium, 1983, 28.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun