Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe"

19 Juli 2019   11:15 Diperbarui: 19 Juli 2019   11:33 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nambas.wordpress.com

Upaya menaikkan gajih para pegawai negeri (remunerasi) untuk meminimalisasi laku koruptif kurang produktif. Dengan pelbagai modus, para pejabat negara dari hulu hingga muara terbukti mencuri kekayaan Ibu Pertiwi. Regenerasi pegiat korupsi berjalan masif.

Hal itu wajar terjadi sebab niatan untuk korupsi konon berkecamuk sejak dari pikiran. Kinerja berdasarkan prestasi hanya ada dalam kelebatan fantasi. Ia terlindih buaian kemewahan materi.

Mungkinkah generasi terkini tidak memahami salah satu fisofi masyarakat Jawa? Terkait dengan kerja nyata alias bukan omong doang, karuhun kita berpesan dengan ungkapan "sepi ing pamrih rame ing gawe." Serius bekerja sesuai dengan kompetensi yang dimiliki tanpa sibuk mempersoalkan imbalan. 

Segala niat, tekad, sikap, pengalaman dan pengamalannya betul-betul untuk kemaslahatan umat. Dia sibuk bekerja dari pada berkoar-koar di hadapan para penjilatnya atau pejabat luar negeri yang tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya. Sekalipun berani menghadappi media aneka pertanyaan jurnalis mesti diajukan jauh-jauh hari.

Tentu saja prinsip kerja manusia "sepi ing pamrih rame ing gawe" sangat berbeda degan tukang copet dan tukang obat jalanan. Prinsip tukang copet adalah sedikit atau sepi bicara daripada bekerja. 

Tukang copet baru bicara atau teriak jika posisinya tersudut. Dia balik menuduh orang lain yang dicopetnya. Kata Iwan Fals mah maling teriak maling.

Adapun prinsip tukang obat yang biasa menggelar dagangannya di pinggir jalan atau di tengah alun-alun kota adalah banyak bicara sedikit bekerja. Hamburan kata-kata sengaja dikeluarkan untuk menutupi kebohongannya. Atraksi yang hendak dipraktikkan hanya bualan semata untukk mengelabui para pengunjung. Semakin banyak pengunjung semakin besar pula kebohongannya.

Sepertinya tabiat seperti itu memiliki kemiripan dengan para pejabat kita yang tersandung kasus korupsi. Kebohongan di luar dan dalam pengadilan sudah menjadi menu keseharian. Saling tuduh antarpejabat dipertontonkan di hadapan rakyat.

Satu yang pasti pejabat betabiat tukang obat jalanan dan tukangg copet memelukk teguh pupulur memeh mantun. Individu tipe "pupulur mmh mantun" sebelum bekerja sudah memikirkan atau meminta imbalan. Sebelum dinyatakan mendapat pekerjaan, manusia tipe ini sudah berharap pamrih yang berorientasi materi untuk kepentingan diri dan golongannya.

Untuk memuluskan intensi yang diimpi-impi, manuisa tipe ini menghalalkan pelbagai cara. Menyemir, menyogok, atau memperlicin jalan dengan sejumlah uang secara sadar sengaja dilakukan. Celakanya, sebagian masyarakat kita cenderung pragmatis. Sepertinya merasa tertinggal dan ketakutan jika tidak mengikuti gaya hidup yang bermewah-mewahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun