Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ning, Sebuah Kado Pernikahan

14 Juli 2019   06:50 Diperbarui: 14 Juli 2019   16:34 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(Ilustrasi foto milik Teddi Muhtadin)

Dibandingkan penulis novel atau naskah drama regenerasi penyair Sunda termasuk bagus dan berkesinambungan. Setelah era Kis Ws, Wahyu Wibisana, Sayudi, Etti RS dan Godi Suwarna, kini tongkat estafet sajak Sunda dilanjutkan oleh angkatan Teddi Muhtadin. Ketimbang para penyair lainnya, nama Teddi Muhtadin memang kurang 'berkibar'. Bahkan, dalam antologi 'Sajak Sunda' yang dieditori oleh Ajip Rosidi kita tidak akan menemui satu bijipun sajak karya Teddi.

Memang, dalam jagat sastra Sunda Teddi lebih dikenal sebagai esais atau kritikus sastra yang mumpuni dan dihormati. Padahal, Teddi juga seorang penulis naskah drama yang cukup potensial. Setidaknya, naskah 'Pasaran' yang ditulis anjeunna menjadi juara kahijilomba penulisan naskah drama yang diadakan Paguyuban Pasundan. 

Meski kurang mendapat apresiasipositif dari para pengamat sajak, terutama dari kritikus sastra yang kadung disebut paus sastra Sunda, Teddi Muhtadin tetap merenda kata dalam bangunan sajak Sunda.

'Ning, Kumpulan Sajak 1994-2004' (Girimukti Pasaka, Jakarta) yang terbit pada Januari 2008 adalah salah satu bukti kreativitas Teddi tidak pernah mati. Sajak-sajak yang terkumpul  dalam 'Ning' umumnya pernah dimuat di beberapa media Sunda, terutama di tabloid Galuradan majalah Mangle.

Sebatas yang saya cermati sajak-sajak dalam 'Ning' adalah sajak hati, bukan sajak gigi. Dia bukan sajak panggung yang lazim digorowokkeun atau diteriakkan para maniak seni pertunjukkan yang kerapmotah ajrag-ajragan.

Membaca sajak-sajak 'Ning' tidakmahi sekali jadi. Empati akan suatu persoalan pasti bersemi manakala kita membacanya dengan penuh hati-hati, teliti, dihayati, dan mesti diulangi berkali-kali.

Sebab, sajak-sajak 'Ning' mengundang banyak kemungkinan yang terus bermunculan ketika kita mengulang membacanya. Akan ada temuan baru bila kita membacanya dengan saku rangkepanatau pelbagai pemikiran dan pertimbangan.

Beragam kemungkinan atas pemaknaan yang akan kita dapatkan dari sajak-sajak yang terkumpul dalam 'Ning' setidaknya makin ditegaskan dengan hadirnya sajak yang berjudul 'Kado Pernikahan': 

waktu pasini direngkolkeun dina lalayang

jeung kereteg dibeulitkeun dina jariji

urang terang, dina kecap

teu weleh aya tapak anu lunta, biheung ka lebah mana

dina tanda teu weleh aya nu renghat

 

ku kituna

saperti sumpah atawa kawaringkasan

jangji jeung kereteg teu weleh kudu dicakra

turta dibaca jeung dibaca

salalawasna

(2004)

Membaca sekilat judul dan dua baris awal bait pertama, dapat disimpulkan peristiwa, semangat, latar, dan alur sajak di atas tentang sebuah pernikahan yang disimbolkan dengan hadirnya pertemuan dua insan yang diresmikan dengan selembar kertas dan diikat dengan cincin yang melingkar di jari manis.

Hal itu digambarkan dari judul 'kado pernikahan' dan ditegaskan dalam kalimatwaktu pasini dirngkolkeun dina lalayang/jeung kereteg dibeulitkeun dina jariji (ketika pertemuan ditahbiskan dalam piagam/ dan tekad dibulatkan di jemari).

Penyatuan dua cinta dan diresmikan dengan perjanjian di atas kertas merupakan salah satu cara agar janji tetap terpatri dan dilaksanakan dengan sepenuh hati dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebab, urang terang, dina kecap/ teu weleh aya tapak anu lunta, biheung ka lebah mana/ dina tanda teu weleh aya nu renghat (kita tahu, dalam kata/ selalu ada jejak yang tidak terlacak, entah ke mana/ dalam tanda selalu ada retakan).

Oleh karena itu jangji jeung kereteg teu weleh kudu dicakra/ turta dibaca jeung dibaca/ salalawasna alias janji dan tekad harus diberi tanda dan selamanya terus dibaca. Janji itu mesti dipahami keduanya dan dilarapkan dalam dunia keseharian. Pembacaan tiada henti terhadap buku nikah, misalnya, adalah salah satu cara agar pasangan suami-istri tidak lupa akan janji dan kewajibannya.

Kewajiban setiap insan adalah menepati janji dan menjalankan kewajiban, apalagi jika janji itu tergurat dalam selembar surat atau termaktub dalam sebuah buku. Namun, namanya juga manusia, salah dan lupa kerap mendapat tempat.

Makanya, sajak 'Kado Pernikahan', saya pikir, bukan melulu merekam peristiwa pernikahan dua insan yang sedang diliputi kebahagian. Apalagi, seperti kita tahu, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Dengan membaca masalah gerbang rumah tangga, 'Kado Pernikahan' sejatinya sedang meneropong dunia luar yang lebih besar.

Jagat alit atau dunia kecil dalam sajak ini seakan mengingatkan pada kita agar selalu membaca tanda-tanda jaman. Mengingat dan menepati janji yang sudah diikrarkan. Terutama janji kita pada sesama manusia, alam, dan ketuhanan.

Sebab, bagi umat Islam, misalnya, janji kita dengan-Nya telah diikrarkan sebelum manusia lahir ke dunia ini. Apalagi jika kita mengingat ayat pertama yang diturunkan Alloh SWT pada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca.

Membaca kehidupan memang bukan pekerjaan gampang. Perlu pengetahuan, kecermatan, ketekunan, perasaan, dan pengalaman dalam menyelaminya. Namun, ketidakgampangan itu akan berkurang jika kita memberi tanda-tanda jaman yang sudah dan akan ditorehkan. Hal itu agar memberi pencerahan kala kita membaca fenomena alam dan kehidupan.

Seperti bait terakhir sajak 'Kado Pernikahan', jangji jeung kereteg teu weleh kudu dicakra/ turta dibaca jeung dibaca/salalawasna alias pemberian tanda-tanda jaman untuk membuka tabir kehidupan selamanya terus didawamkan. Dilakukan secara berkesinambungan. Tiada kata henti dalam mengkaji sari-sari kehidupan bihari, kiwari, dan bariksukpagi (dahulu, kini, dan nanti).

Tentang janji manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam, saya pikir, amat mendominasi sajak-sajak yang terkumpul dalam 'Ning'. Tentu, janji itu mesti terus diingati, dipahami, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan begitu 'Kado Pernikahan' yang disodorkan Teddi bukanlah sebuah bingkisan hadiah yang mengejutkan dan membuat kita kegirangan. Namun sebuah pekerjaan yang menuntut kita agar terus mencari maknawi yang hakiki.

Cara membaca boleh berbeda, penafsiran mungkin berlainan, yang jelas,'Ning, Kumpulan Sajak 1994-2004'merupakan kado terindah Teddi Muhtadin yang menyelami dunia sastra Sunda.

Artikel di atas dimuat di koran Kompas Jabar. Karya Djasepudin, seorang guru SMA Negeri 1 Cibinong, Bogor

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun