Pembangunan sebuah kota atau negara cenderung disalahartikan. Kota atau negara dikatakan tumbuh dan berkembang jika wilayah itu berdiri gedung menjulang, ramai dengan pusat perbelanjaan yang sangat besar, serta di setiap penjuru kota tersebar pabrik atau perusahaan multinasional.Â
Hal itu diburu dan dikejar demi menyejajarkan dengan kota atau negara yang kadung dianggap maju, adikuasa, serta teladan pembangunan kota dan negara lainnya.
Tentu itu keliru sangka. Ada dinamika pikiran yang salah pijakan dalam menentukan arah jalan ke masa depan. Salah kaprah lumrah terjadi sebab peta jalan dalam memilih strategi pembangunan cenderung mengekor aliasikut-ikutan.Â
Itulah buah dari konsep pembangunan yang tidak mempertimbangkan basis pemikiran yang berkarakter kuat, tidak memiliki ciri mandiri yang mumpuni, serta tidak melakukan studi yang ketat terhadap potensi yang dipunyai.
Indonesia hari ini mengalami kelimbungan. Konsep pembangunan negara cenderung salah jalan dan tidak tepat sasaran. Bahkan, dalam beberapa tataran, kita benar-benar tidak memiliki kemandirian. Bukan gosip atau sudah menjadi rahasia umum bahwa, arah kebijakan kita kerap dikendalikan atau disetir oleh pihak-pihak asing.Â
Tragedi Freeport yang menyangkut negeri adidaya Amerika dan menyengsarakan masyarakat Papua, kasus Mesuji yang menyangkut perusahaan dari negeri tetangga tapi merugikan warga Sumatera, atau impor bawang merah ke India yang mematikan petani Cirebon, Brebes, dan sejumlah daerah di Jateng dan Jatim, makin menegaskan proyek pembangunan dalam negeri terlalu berkiblat ke luar negeri. Sedangkan kesejahteraan dan potensi dalam negeri cenderung terabaikan, bahkan termaginalkan.
Bangsa kita memang latah dan ingin serba cepat alias pragmatis. Menyaksikan kemajuan teknologi dan industri negara-negara berkembang yang cepat maju kita seperti kelimpungan.Â
Melihat Cina, India, dan Jepang yang kini jadi macan Asia dan diperhitungkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika kita dengan kemampuan alakadarnya ingin segera sejajar dari mereka.Â
Pembangunan digenjot. Industri atau pabrik-pabrik didirikan di sejumlah kota di pulau Jawa. Tak peduli hibah atau hutang makin menggunung dan mesti dibayar anak-cucu kita hingga lebih dari tujuh turunan. Mantranya: pembangunan dipercepat agar sejajar dengan negara maju bisa tercapai serta citra diri sebagai pemimpin yang berhasil mudah tergapai.
Agraris
Terang saja rakyat gelagapan. Rakyat kita belum siap menerima perubahan yang sangat cepat dan dipaksakan. Industrilaisasi malah mengorbankan salah satu sumber kekayaan terbesar kita, yakni masyarakat agraris yang memberdayakan kesuburan alam. Petani kehilangan lahan garapan, sumber air mengalami kekeringan, harga pupuk terus melangit, serta saban tahun sering terjadi puso atau gagal panen.