Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar Menulis dari Seorang Ghostwriter

28 Februari 2015   18:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan saya ke Yogyakarta kali ini adalah khusus untuk menemui seorang teman yang berprofesi sebagai ghostwriter alias penulis gelap, tapi bukan berarti ilegal lho.Sebenarnya banyak sih buku-buku tentang teknik menulis bisa dibeli di toko buku, namun akan lebih mengena lagi bila bertemu langsung dengan orang yang sudah berpengalaman menulis karena ilmu dan pengalamannya bukan sekedar teori tapi juga mengajarkan trik-trik singkat menulis supaya bisa diterbitkan, dan itulah yang saya cari hingga ke Yogya.

Profesi ghostwriter ini sebenarnya legal dan jamak karena banyak orang yang punya ilmu atau pengalaman tapi tidak bisa menulis sehingga perlu dibantu oleh penulis gelap tersebut. Bedanya dengan co-writer seperti penulis otobiografi adalah bila ghostwriter benar-benar hanya mengetikkan, paling banter membantu teknik penulisan tapi ide penulisannya murni dari narasumbernya, sementara kalau co-writer juga ikut menyumbang ide materi tulisan bersama narasumber. Lagipula pendapatan sebagai ghostwriter, apalagi menuliskan kisah orang terkenal, jauh lebih besar honornya ketimbang penulis biasa yang menanti hasil royalti penerbitan bukunya.

Menurut dia (saya sebut dia karena keberatan ditulis namanya), menulis itu paling asyik kalau berasal dari pengalaman orisinil pribadi, karena touch-nya ada di situ, tidak sekedar menyalin teori sana sini lalu merangkumnya jadi sebuah buku baru. Tapi jangan lupa supaya bukunya laku, perhatikan trend apa yang sedang hangat di pasar, karena penerbit juga akan melihat peluang pasarnya bagus atau tidak. Kalau sesuai dengan selera pasar tentu akan lebih mudah mendekati penerbit karena mereka memang membutuhkan penulis baru dengan ide-ide segar dan layak jual. Jadi sebelum menulis buku, ada baiknya riset kecil-kecilan terlebih dahulu selera pembaca, misal dari teman dekat atau teman di FB/WA dan sebagainya. Mintalah pendapat mereka tentang tema buku yang disukai. Lalu kita sesuaikan pengalaman atau ilmu yang akan kita tulis dengan selera pasar tersebut.

Sebenarnya menulis itu mudah, yang penting niat dan konsistensi, serta fokus pada satu tema supaya bukunya cepat jadi. Kelemahan banyak penulis selama ini adalah banyak ide namun tergantung mood dan tidak konsisten sehingga tidak ada satu tulisanpun yang menjadi buku. Apabila kita terbentur pada banyak ide, tuliskan saja dan simpan dulu di folder lain untuk dituliskan pada waktu berikutnya. Sekali lagi fokus dan konsisten pada tema, waktu, dan keinginan pembaca, itu kata kunci pertamanya. Supaya fokus dan konsisten, jangan lirik sana sini dan siapkan waktu menulis minimal 5-10 halaman per hari, baik lagi sibuk apalagi senggang tentu bisa lebih dari itu. Bikin deadline penulisan sendiri, misalnya sebulan harus jadi agar kita terpacu untuk tetap menulis apapun kondisinya.

Berikutnya adalah teknik penulisan, pertama siapkan outlinenya dulu, persis seperti menulis skripsi waktu kuliah. Ingat, standar materi untuk penerbitan buku adalah minimal 150 halaman A4 dengan huruf Times New Roman 12 dan 1,5 spasi. Oleh karena itu usahakan agar dalam satu paragraf tidak lebih dari lima atau enam kalimat. Bila terlalu panjang paragrafnya, temukan ide-ide dalam paragraf tersebut yang dapat dipecah, dan dibahas masing-masing ide tersebut dalam paragraf yang lebih kecil. Perbanyak bab dan sub bab agar ide tulisan tersampaikan, bila perlu sisipkan dalam bentuk poin-poin karena pembaca cenderung malas membaca paragraf yang panjang. Hal tersebut diupayakan agar memenuhi standar penerbitan buku seperti di atas.

Lalu setelah tulisan jadi, tentu cari penerbit yang sesuai dengan genre atau tema tulisan. Kalau tulisan tentang traveling tentu bidik ke penerbit A yang biasa menerbitkan buku-buku traveling, bukan penerbit B yang fokus pada penerbitan buku-buku agama misalnya. Kirim emali pemberitahuan dulu sebelum mengirim, disertai dengan data diri, CV menulis, dan pengalaman menulis kalau ada, serta ide buku yang akan diterbitkan. Bila penerbit tertarik mereka akan membalas email kita, baru kita kirim naskah hard copynya. Ingat, penerbit, terutama penerbit besar tidak menerima soft copy, agar tidak terjadi tuntutan di kemudian hari. Lagipula tetap lebih enak membaca dan koreksi hard copy ketimbang soft copy.

Setelah naskah buku diterima penerbit, baru bicara pembagian hasil. Ada dua jenis pembagian hasil, beli putus atau royalti. Masing-masing ada keuntungan dan kerugiannya. Kalau beli putus, bila bukunya best seller kita tidak berhak lagi memperoleh bagi hasil penjualan buku karena sudah sepenuhnya menjadi milik penerbit. Kalau sistem royalti, bila bukunya tidak laku maka kita hanya memperoleh bagi hasil sedikit sesuai dengan jumlah buku yang terjual. Besarnya royalti rata-rata sekitar 10% dari harga buku. Tips dari kawan saya, kalau memasukkan naskah ke penerbit kecil mending sistem beli putus, sementara kalau ke penerbit besar mending sistem royalti, karena penerbit besar punya sistem administrasi yang lebih baik daripada penerbit kecil, serta kemungkinan bangkrutnya kecil.

Terakhir, bersabarlah, karena dari naskah masuk hingga disetujui saja rata-rata paling cepat 3 bulan, bahkan bisa setahun. Belum lagi bila kita menganut sistem royalti, anggap saja sebagai tabungan masa depan yang tidak pernah habis, karena selama buku itu masih dicetak kita masih berhak menerima pendapatan dari buku itu. Jadi jangan terlalu berharap dapat duit besar dulu dari buku, tapi lebih kepada ilmu dan manfaat yang kita bagikan kepada pembaca itulah yang menjadi berkahnya. Di samping itu, kalau menulis sendiri, bukan ghostwriter, pelan-pelan nama kita akan dikenal publik, dan selanjutnya menjadi public speaker. Dari situlah sebenarnya penghasilan kita jauh lebih besar ketimbang menulis buku itu sendiri. Mirip seperti musisi yang lagunya sekarang bisa didapat gratisan, tapi honornya jauh lebih besar manggung daripada menciptakan lagu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun