Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Lockdown or No Lockdown, Logistik Kata Kuncinya

29 Maret 2020   22:25 Diperbarui: 30 Maret 2020   13:26 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandara Sepi Dampak Wabah Corona (Dokpri)

Setelah beberapa daerah mulai menerapkan local lockdown di wilayahnya masing-masing, pemerintah pusat tampak mulai gamang. Senin besok pemerintah baru akan dirapatkan untuk mengambil keputusan apakah akan dilakukan karantina wilayah terutama Jabodetabek dan zona merah lainnya atau tetap dengan model seperti sekarang ini.

Beberapa negara sudah menerapkan lockdown termasuk negeri tetangga Malaysia, India, Italia, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya, bahkan Rwanda dan Ghana di Afrika juga ikut melakukan lockdown. Sementara beberapa negara lain termasuk Iran dan Korea Selatan masih belum memberlakukan lockdown kendati jumlah korban cukup signifikan. 

Ada yang boleh dikatakan berhasil seperti Tiongkok yang sudah mulai menunjukkan titik nol korban virus corona setelah tiga bulan berlalu. Namun ada juga yang gagal seperti di India dan Italia karena kurangnya persiapan pemerintah setempat serta budaya masyarakatnya yang cenderung sulit  diatur.

Kalau mau dicermati lebih dalam, persoalannya bukan terletak pada lockdown atau tidak, tapi lebih kepada kesiapan pemerintah beserta sebagian masyarakat untuk menyiapkan logistik saat terjadi lockdown. India dan Italia adalah contoh kegagalan lockdown karena tidak menyiapkan logistik selama waktu karantina tersebut sehingga masyarakatnya cenderung nekat untuk kembali ke kampung halaman daripada mati kelaparan di kota besar akibat lockdown. Tiongkok cukup sukses karena mereka juga menyiapkan logistik kepada penduduk terdampak disamping rumah sakit khusus yang dibangun secara kilat.

Seperti yang disampaikan oleh seorang pengemudi ojol dalam acara ILC minggu lalu, bagi mereka yang penting adalah bagaimana bisa makan hari ini dan seterusnya. Mereka tidak butuh dibayarin kontrakan atau cicilan motor, tapi lebih membutuhkan makan sebagai kebutuhan dasar agar tidak mati kelaparan hanya karena menghindari kematian karena corona. Toh akhirnya sama-sama mati lebih baik tetap nekat kejar setoran dengan resiko terpapar daripada diam di rumah tanpa makanan yang cukup.

Ini klop dengan yang dikatakan oleh Presiden Ghana, bahwa sehancur-hancurnya ekonomi dapat dihidupkan kembali, tapi nyawa manusia takkan kembali lagi. Jadi persoalannya bukan semata-mata lockdown atau tidak, tapi bagaimana menyelamatkan nyawa manusia agar tidak terpapar corona sekaligus juga tidak mati kelaparan karena tidak ada penghasilan untuk membeli makan. Kegiatan ekonomi boleh turun bahkan mungkin hancur atau bangkrut, tapi jangan sampai nyawa manusia terabaikan hanya karena terlalu fokus pada lockdown semata.

Kalau diperhatikan lebih jauh, logistik menjadi kata kunci yang menentukan apakah suatu wilayah siap dikarantina atau tidak. Boleh-boleh saja dilakukan karantina wilayah sepanjang kebutuhan dasar sehari-hari bisa dipenuhi. 

Pemenuhan logistik harus konsisten selama masa karantina, tidak sekedar mengharapkan sumbangan yang sifatnya temporer bergantung pada belas kasihan para penyumbangnya. Tanpa logistik yang cukup, jangan harap karantina wilayah berhasil dengan baik.

Itulah mengapa pada akhirnya banyak para pendatang mudik dini sebelum diberlakukan larangan mudik, karena rata-rata mereka adalah pekerja harian atau pekerja lepas dan pedagang kecil yang mengandalkan penghasilan dari klien atau konsumen yang tidak tentu setiap harinya. Dengan kondisi seperti ini, daripada bertahan hidup di ibukota tanpa jaminan logistik yang pasti, lebih baik pulang kampung bergabung bersama keluargaa besar. Paling tidak kebutuhan dasar bisa dipenuhi di kampung walau tidak ada pekerjaan tetap di sana.

Dalam kondisi seperti ini, logistik sembako lebih dibutuhkan daripada BLT atau bantuan tunai sejenis karena yang dibutuhkan adalah makanan untk bertahan hidup, bukan untuk membeli kebutuhan lainnya. 

Percuma diberi uang kalau tidak ada logistik yang memadai, seperti yang terjadi di Italia yang mulai menipis persediaan logistiknya. Apalagi kalau menggunakan sistem transfer, padahal yang dibutuhkan adalah uang tunai untuk membeli kebutuhan dasar yang belum tentu dapat dibayar melalui uang digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun