Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyoal Kuota Haji yang Nganggur

16 Agustus 2019   14:32 Diperbarui: 17 Agustus 2019   17:36 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamaah Calon Haji Tiba di Jeddah (Dokpri)

Membaca tulisan dua suhu di Kompasiana, Kang Isjet dengan artikel "Kuota Haji Mubazir,Cerita Lama yang Dianggap Biasa" dan Uda Isson Khairul dengan artikel "Kuota Haji Nganggur, Kenapa Dibiarin?" saya jadi tertarik untuk sedikit mengulas mengapa masih ada saja kuota haji yang kosong, padahal antrian semakin membludak.

Apalagi artikel terakhir menjadi headline Kompasiana yang tentu akan memengaruhi pikiran pembacanya sehingga perlu dijernihkan kembali mengapa selalu saja ada kuota nganggur.

Kedua suhu pada intinya mempertanyakan hal yang sama, mengapa sistem yang ada sekarang tidak bisa menggantikan kekosongan kuota secara otomatis. Mengapa?

Sebelum berandai-andai lebih jauh, pertama-tama harus diketahui dulu bahwa sebelum keberangkatan ada pemeriksaan kesehatan terakhir yang memakan waktu sekitar 5 hari kerja atau seminggu dan tidak bisa begitu saja dipercepat.

Lalu setelah itu pengurusan visa haji yang juga bisa memakan waktu sekitar 5 hari kerja atau seminggu kalender. Artinya harus ada spasi waktu minimal dua minggu bagi calon pengganti jemaah yang batal untuk melaksanakan kedua tes tersebut.

Jadi penggantian jemaah haji hanya dimungkinkan maksimal tiga minggu sebelum keberangkatan pertama ke tanah suci yang dimulai tanggal 6 Juli 2019 atau sekitar tanggal 20 Juni 2019.

Repotnya bila jemaah membatalkan keberangkatan setelah tanggal tersebut karena tidak mungkin lagi dilakukan pengggantian, apalagi bila pembatalannya terjadi pada saat pemberangkatan karena tidak lolos screening kesehatan akhir, misalnya ketahuan hamil atau sakit berat.

Seharusnya dari angka 524 orang kuota yang kosong dipilah dulu, berapa jamaah haji yang batal sebelum 20 Juni dan sesudah 20 Juni. Kalau sebelum 20 Juni, masih dimungkinkan penggantian jemaah oleh antrian berikutnya. Di sinilah perlu regulasi khusus untuk mempercepat pengurusan visa, karena tes kesehatan sulit untuk dipercepat waktunya mengingat kapasitas lab terbatas.

Kalau sudah lewat 20 Juni, apalagi bila terjadi pembatalan pas hari-H keberangkatan, dapat dipastikan kuota akan dibiarkan kosong karena tidak mungkin mencari pengganti yang harus siap dengan hasil tes kesehatan dan tidak ada lagi waktu mengurus visa. Lagipula rentang antara 10 Mei hingga 20 Juni ada libur lebaran dan cuti bersama serta hari libur nasional lain yang tentu bakal mengurangi hari kerja pengurusan dokumen kesehatan dan visa.

Para calon jemaah harus dalam kondisi kesehatan prima jika hendak berangkat haji. Tidak ada toleransi dalam hal ini karena menyangkut nyawa manusia. Jadi calon pengganti jemaah yang batalpun harus dites kesehatannya dan tetap harus mengurus visa, tidak bisa begitu saja otomatis berangkat tanpa disertai dokumen resmi.

Kedua, penggantian jemaah yang meninggal oleh ahli waris juga bukan hal yang mudah, apalagi bila waktunya mepet. Pengalaman rekan sesama jemaah, anaknya tidak siap karena masih menyusui dan mengasuh bayi, sementara menantunya belum siap secara materi meninggalkan bekal buat keluarganya selama ditinggalkan. Jadi walau dimungkinkan, tapi tetap saja tak semudah membalikkan telapak tangan, Ferguso!

Ketiga, jangan berrmimpi bisa dengan mudah membuat regulasi memindahkan kuota dari satu embarkasi ke embarkasi lain. Lha wong di dalam embarkasinya sendiri juga antrean masih panjang, apalagi harus menampung kuota dari embarkasi lain. Jadi lebih baik fokus mencari pengganti dari embarkasinya sendiri daripada mengubek-ubek alokasi embarkasi lain.

Kalau maksudnya agar waktu tunggu merata, bisa dilakukan realokasi untuk tahun berikutnya, tapi dengan risiko protes dari calon jamaah yang bakal mundur waktu tunggunya akibat tergusur oleh calon jamaah dari embarkasi lain. Jadi pemerintah juga tidak bisa seenaknya melakukan realokasi kuota antar embarkasi.

Keempat, bila dibagi rata dengan jumlah kloter sebanyak 531 sesuai SK Qurah tahun 2018, maka kuota kosong per kloter 'hanya' satu orang berbanding 393 jemaah. Artinya jumlah kuota kosong tersebut sangatlah kecil presentasenya dibandingkan yang berangkat.

Apalagi bila dibandingkan dengan total jemaah yang berjumlah 213 ribu orang tentu sangat-sangat kecil, hanya 0,24% saja, jauh dari margin error 1-3% alias masih dalam batas wajar.

Kelima, yang seharusnya menjadi perhatian adalah banyaknya jumlah pendamping dari KBIH yang turut memakan kuota haji, padahal mereka sudah tiap tahun berangkat.

Lalu banyak orang lanjut usia yang sebenarnya sudah tidak mampu lagi namun tetap dipaksakan berangkat. Ini tentu berisiko tinggi dibanding memberangkatkan jamaah yang masih muda dan segar. Jadi perlu seleksi ketat terhadap lansia yang hendak diberangkatkan haji agar tidak terlalu merepotkan petugas yang jumlahnya sangat terbatas.

Peran KBIH juga harusnya dikurangi, lebih baik fokus membimbing lansia daripada melayani jemaah yang masih segar namun gak mau capek dan ribet (kalau tak boleh disebut malas) selama ibadah haji. Para jemaah yang muda dan segar diarahkan untuk pergi haji secara mandiri saja, tidak melalui KBIH untuk mengurangi jumlah pendamping yang juga turut memakan kuota tersebut.

* * * *

Ingat, pemerintah Arab Saudi baru saja memberikan tambahan kuota sebanyak 10 ribu jemaah tahun ini. Jadi jelas tidak mungkin dalam 1-2 tahun ke depan bakal menambah lagi kuota hajinya. Lagipula bila melihat kondisi di lapangan, apalagi padatnya tenda di Mina, rasanya sulit sekali untuk menambah jumlah jemaah, kecuali dengan cara memotong kuota negara lain yang tidak terpakai.

Saya kira pemerintah sudah berupaya maksimal untuk memenuhi target kuota yang diizinkan. Kalaupun masih saja ada kuota kosong, itu lebih karena terlalu mepetnya waktu untuk mempersiapkan pengganti seperti telah diuraikan di atas.

Semoga tulisan ini bisa memperjelas kenapa kuota kosong akan tetap selalu ada. Tinggal bagaimana meminimalisasi atau menurunkan jumlah kuota kosong tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun