Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Balik Revolusi Kereta Api

28 Juli 2019   20:29 Diperbarui: 28 Juli 2019   20:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun KA Ekonomi Kiaracondong (Dokpri)

Setahun terakhir saya lebih sering menggunakan kereta api baik perjalanan dinas maupun pribadi. Disamping bosan naik pesawat udara terus-terusan, juga harga tiket yang mahal membuat saya beralih menggunakan kereta api. Saat ini menggunakan moda transportasi kereta api jauh lebih nyaman dibanding sepuluh tahun lalu. Jonan boleh dibilang sukses merevolusi kereta api menjadi salah satu angkutan umum terandal di negeri ini.

Dulu naik kereta api merupakan pilihan terakhir setelah pesawat terbang dan bus. Kondisi kereta kurang terawat, apalagi kereta ekonomi dan bisnis yang penuh dengan pedagang asongan dan tukang sapu dadakan yang mondar mandir di atas kereta. Belum lagi kalau lebaran tiba, penumpang berjejal hingga ke atap kereta demi memperoleh tempat untuk kembali ke kampung halaman. Stasiunnya juga sama saja, penuh dengan pedagang kaki lima dan cenderung tidak terawat dengan baik.

Semua itu berubah total sejak Jonan memimpin perusahaan kereta tertua dan satu-satunya di Indonesia tersebut. Semua kereta api tidak ada lagi yang tak berpendingin udara, bahkan untuk kelas ekonomi sekalipun. Ruang tunggu dibuat seperti bandara, ada boarding pass dan pengecekan identitas untuk mencegah orang tanpa kepentingan masuk ke area dalam stasiun. Tiket dijual secara online dan wajib menunjukkan identitas bila membeli di stasiun untuk mencegah calo berkeliaran.

Namun rasanya ada yang hilang sejak revolusi kereta api ini bergulir. Saya tidak lagi melihat pedagang lokal berjualan di area stasiun kereta api. Lebih banyak warung modern dan waralaba yang mendominasi stasiun kereta api, yang harganya jelas selangit sudah mendekati harga bandara. Padahal penumpang kereta api tak melulu orang kaya atau banyak duit seperti penumpang pesawat terbang.

Ruang Tunggu Luar Stasiun Bandung (Dokpri)
Ruang Tunggu Luar Stasiun Bandung (Dokpri)
Coba lihat stasiun Senen yang dikhususkan untuk kelas ekonomi dan bisnis, walau ada beberapa kelas eksekutif yang disisipkan di beberapa kereta. Tak ada lagi warung untuk para backpackers atau calon penumpang yang duitnya pas-pasan hanya untuk pulang kampung. Model warungnya sama persis dengan stasiun Gambir yang memang khusus dirancang untuk kelas eksekutif alias para penumpang berduit. Hampir semua didominasi oleh waralaba atau kedai-kedai berkelas.

Sementara para pedagang kecil yang menjajakan kopi dan nasi bungkus terpental di luar pagar stasiun. Harganya jauh lebih murah dibanding minum kopi di area stasiun. Kalau di luar pagar harga sebungkus nasi kuning plus potongan telur dan orek hanya 7000 Rupiah, plus kopi panas 3000 Rupiah, total 10 Ribu Rupiah saja sudah cukup untuk mengenyangkan perut. Ironisnya, di dalam stasiun 10 Ribu Rupiah hanya cukup untuk memanaskan secangkir kopi, sementara makanan sejenis bisa berharga di atas 20 Ribu Rupiah. Disparitas harganya terasa njomplang sekali.

Sebuah pemandangan unik tampak ketika kereta langsir di stasiun Bangil, Pasuruan ketika saya hendak ke Malang dari Jember. Para penumpang turun menuju pagar besi untuk membeli nasi bungkus yang dijual di luar pagar besi tersebut karena di area ruang tunggu tidak tersedia warung makan yang representatif buat mereka. Satu lagi pemandangan sejenis saya temui di sebuah stasiun langsiran antara Purwakarta dan Bandung, perut lapar membuat orang nekat membeli nasi bungkus di balik pagar.

Emplasemen Stasiun Bogor (Dokpri)
Emplasemen Stasiun Bogor (Dokpri)
Di dalam stasiun saya juga tidak menemui toko-toko yang menjual souvenir atau kerajinan khas daerah tersebut, kecuali makanan lokal saja. Itupun harganya sedikit di atas harga kalau beli di tempat lain dan hanya ada di beberapa stasiun saja seperti Malang, Bandung, dan Semarang. Selebihnya warung waralaba roti dan toko kelontong yang mendominasi hampir di setiap stasiun.

Modernisasi di satu sisi membuat manusia khususnya penumpang kereta menjadi tertib dan terkendali. Namun di sisi lain pedagang lokal yang seharusnya tetap diakomodasi dan diberikan tempat malah terabaikan. Harga sewa tempat yang mahal bisa jadi membuat mereka enggan untuk berdagang di area stasiun dan lebih memilih tetap berjualan di luar pagar. Hanya waralaba tertentu saja yang sanggup membayar sewa untuk beberapa stasiun sekaligus dengan kompensasi harga yang dijual menjadi mahal.

Padahal kemajuan zaman tak harus mengorbankan masyarakat lokal untuk tetap berpartisipasi di dalamnya. Mereka bisa ditempatkan di lokasi khusus yang tak jauh dari pintu masuk atau ruang tunggu namun masih berada di dalam area stasiun. Keberadaan pedagang kecil tentu sangat dibutuhkan oleh penumpang kelas ekonomi dan bisnis yang rindu jajanan asongan yang bolak balik di atas kereta dengan harga yang sangat murah dan mampu mengganjal perut kosong mereka.

Kita tentu tetap ingin ketertiban di dalam kereta dengan melarang para pedagang naik ke atas kereta atau berdagang di area peron. Namun bukan berarti melarang atau menghilangkan keberadaan mereka sama sekali, namun ditertibkan dalam suatu tempat tertentu. Jangan sampai revolusi kereta api juga ikut mengorbankan orang kecil terutama pedagang lokal yang tinggal dan menetap di sekitar stasiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun